Minggu, 12 Oktober 2025

Ekonom Unpad: Regulasi Kopdes Merah Putih Perlu Di Tingkat Daerah

Ekonom Unpad: Regulasi Kopdes Merah Putih Perlu Di Tingkat Daerah

PIKIRAN RAKYAT

- Ekonom dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Ferry Hadiyanto, berpendapat bahwa program Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih memerlukan aturan yang lebih spesifik, baik di tingkat kementerian maupun daerah.

"Terkait dengan program Kopdes Merah Putih ini, yang juga sangat penting dilakukan oleh pemerintah adalah penyusunan regulasi yang lebih rinci, baik di tingkat Peraturan Menteri/Kepmen turunannya sehingga menjadi Pergub atau Perwal/Perbup di tingkat daerah," kata Ferry kepadaPikiran-rakyat.com, Kamis, 25 September 2025.

Mengenai pelaksanaan teknis yang disampaikan Ferry, penting untuk diketahui siapa saja yang menjalankan pekerjaan Kopdes Merah Putih hingga tingkat desa.

Selain itu, menurutnya, yang paling penting dari Kopdes Merah Putih adalah rencana bagaimana koperasi didirikan serta jumlahnya, termasuk juga aspek pendanaan.

"Karena pembiayaan yang melibatkan perbankan tetap harus mengandung unsur kehati-hatian terlebih jika berkaitan dengan pemberian pinjaman/kredit," ujar dosen FEB Unpad itu.

Ditanyakan mengenai penyerapan tenaga kerja di Kopdes Merah Putih, Ferry menganggap bahwa penyerapan lapangan kerja dilakukan secara bertahap dan tidak langsung merekrut 25 orang.

"Mungkin sulit untuk segera mengunjungi koperasi Kopdes Merah Putih hingga 25 tenaga kerja baru," katanya.

Ferry mengatakan, dalam hal pemantauan dan evaluasi juga perlu disiapkan alat aturan atau regulasi yang efektif serta mampu menghindari tindakan korupsi. "Membuat regulasi semacam ini memerlukan waktu," katanya.

Ia juga menekankan bahwa regulasi evaluasi tersebut perlu memiliki pedoman yang jelas, termasuk sanksi yang diberikan.

"Jadi jujur, faktor kunci ada dan bagaimana kontribusi Pemerintah Daerah Provinsi serta kabupaten/kota dalam program ini. Tidak bisa bersifat sentralistik," katanya.

Menurutnya, perlu diberikan insentif dana transfer kepada Pemda sesuai dengan kinerja yang ditunjukkan oleh pemerintah pusat jika berhasil bekerja dengan baik dan mencapai target yang telah ditetapkan.

Sebelumnya, Menteri Koperasi Ferry Juliantono mengatakan bahwa Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih memiliki kemampuan untuk menghasilkan hingga 1 juta peluang kerja baru pada akhir bulan Desember 2025.

Berdasarkan pendapat Ferry, setiap Koperasi Merah Putih memiliki kemampuan untuk menyerap 20 hingga 25 tenaga kerja di tujuh unit usaha koperasi, yaitu warung kebutuhan pokok, klinik, apotek desa, kantor koperasi, unit simpan pinjam, gudang dan logistik.

Ferry menyampaikan bahwa saat ini terdapat lebih dari 907 ribu orang yang menjadi anggota Kopdes Merah Putih, serta lebih dari 640 ribu orang yang menjabat sebagai pengurus dan pengawas.

Untuk mendukung penerapan Kopdes Merah Putih, Ferry menyatakan bahwa Kementerian Koperasi telah mengangkat 1.104 project management officer (PMO) yang ditempatkan di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota, serta 8.000 pendamping usaha atau business assistant untuk membantu pengurus koperasi di lapangan.

Tenaga kerja koperasi, menurutnya, juga akan diberikan pelatihan guna meningkatkan kemampuan dan kompetensi dalam mengelola koperasi.

"Kami juga telah memberikan pelatihan kepada 7.587 pengurus Kopdes Merah Putih serta 159 dinas provinsi, kabupaten, dan kota untuk mempercepat operasionalisasi Kopdes Merah Putih dan segera menyerap tenaga kerja," ujarnya, dilansir dari pernyataan resmi Kemenkop.

Dosen UGM Desak LMK Tinjau Ulang Kebijakan Royalti Bagi Pelaku Usaha Kecil

Dosen UGM Desak LMK Tinjau Ulang Kebijakan Royalti Bagi Pelaku Usaha Kecil
Dosen UGM Desak LMK Tinjau Ulang Kebijakan Royalti Bagi Pelaku Usaha Kecil

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

D'moneyTalk, YOGYA -Polemik royalti musik yang panjang menciptakan berbagai persoalan yang timbul di tengah masyarakat. 

Pasalnya, penarikan biaya royalti yang dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dinilai tidak jelas. 

Hal tersebut disebabkan belum adanya sosialisasi terhadap para pelaku usaha. 

Tidak adanya klasifikasi yang detail siapa saja pelaku usaha yang diwajibkan membayar ini juga menambah beban bagi pelaku usaha kecil. 

Penyamarataan penghitungan pembayaran inilah yang menjadi problem. 

Selain itu, disebutkan oleh beberapa musisi bahwa royalti yang mereka terima berbanding jauh dengan jumlah pemutaran lagu. 

Kepala Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, I Wayan Nuka Lantara, M.Si., Ph.D., menyebutkan bahwa kondisi ekonomi yang tidak stabil di Indonesia saat ini membuat permasalahan mengenai royalti ini berpengaruh. 

Dari segi praktiknya, permasalahannya disini tidak hanya pelaku bisnis besar, pelaku bisnis kecil dengan profit yang tidak seberapa juga memiliki kewajiban untuk membayar besaran royalti yang sama dengan bisnis besar.

“Jadi, selama ini keuntungan mereka yang sudah kecil itu nanti akan berkurang lagi gara-gara dialokasikan bayar royalti,” terangnya, Senin (25/8/2025).

Ditambah, kondisi ekonomi yang kurang stabil dan jumlah pengunjung yang turut berkurang juga semakin menambah berat untuk para pelaku bisnis kecil untuk membayar royalti, tambahnya.

Dampaknya restoran atau pun kafe dengan profit yang cenderung masih kecil saat ini justru memilih untuk tidak memutar musik. 

Kekhawatiran atas penarikan royalti musik ini membuat mereka terpaksa melakukan hal tersebut agar bisnis mereka dapat terus berjalan. 

Selain itu, jalan lain yang diambil adalah memutar bunyi-bunyian alam yang terkadang suara yang diambil juga memiliki hak terkait. 

Di sisi lain, Wayan juga mengungkapkan adanya penarikan royalti musik ini untuk melindungi karya seni di Indonesia. 

Selama ini banyak pebisnis menikmati hasil karya orang lain untuk tujuan komersil tanpa membayar sepeserpun.

“Alasannya karena mereka sudah berlangganan melalui youtube atau pun spotify. Sebenarnya langganan platform musik ini diperuntukkan untuk konsumsi pribadi,” katanya. 

Penyelesaian mengenai permasalahan ini diperlukan kerja sama dari dua sisi. 

Lembaga Manajemen Kolektif sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam penarikan royalti disini diharapkan mampu lebih transparan mengenai distribusi royalti. 

Lalu selanjutnya, sosialisasi terhadap pihak-pihak terkait juga diperlukan untuk memastikan bahwa para pelaku usaha paham mengenai ketentuan pembayaran royalti yang digunakan dalam usahanya. 

Wayan juga menekankan bahwa yang perlu dilakukan saat ini adalah peninjauan ulang kebijakan mengenai pembayaran royalti bagi pelaku usaha kecil.

Ia pun menganalogikan pembayaran royalti dengan bayar pajak yang mana terdapat kebijakan progresif.

“Jika seseorang pendapatannya kecil, dia kan nggak akan sampai kena rilis pajak yang paling tinggi sebagaimana halnya orang dengan pendapatan besar,” jelasnya.

Peraturan yang ada saat ini sudah baik akan tetapi apabila tidak dibarengi dengan sosialisasi kepada pihak-pihak terkait kebijakan yang ada tidak akan tersampaikan dengan baik. 

Tak hanya itu, hal ini juga menyangkut permasalahan transparansi dan akuntabilitas dari pihak yang berwenang atas penarikan biaya royalti. (*)