Secarik kertas tagihan pajak tahun ini terasa lebih berat di tangan Sunarto. Buruh yang tinggal di Desa Sukoharjo, Kabupaten Pati ini kaget melihat tagihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang harus ia bayarkan. Nilainya melonjak hampir lima kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, dari sekitar Rp 80.000 menjadi Rp 380.000.
Bagi Sunarto, kenaikan itu membebaninya sebagai rakyat kecil. Rasa terimpit itulah yang mendorongnya datang ke alun-alun Pati, Rabu (20/8), untuk memberikan sumbangan air mineral dan lainnya di posko gerakan Aliansi Masyarakat Pati Bersatu.
Gerakan ini menjadi salah satu motor demo besar menuntut pemakzulan Bupati Pati Sudewo pada 13 Agustus lalu. Alun-alun yang biasanya menjadi ruang publik nan tenang, kini beralih menjadi pusat penggalangan dana perlawanan.

Sunarto berharap para aktivis tetap mengawal pelengseran Sudewo yang dianggap dalang dari kebijakan memberatkan itu, walau akhirnya kenaikan PBB-P2 dibatalkan.
“Karena kebijakan-kebijakan Bapak Bupati ini tidak memihak rakyat kecil,” kata Sunarto di alun-alun Pati, Rabu (20/8).
Di jantung kabupaten itu, Sunarto tidak sendirian. Ia melebur bersama warga dengan keresahan serupa. Ada Sari, seorang ibu rumah tangga dari Desa Puri, yang melihat lonjakan PBB sebagai puncak arogansi pemimpin. Begitu pula Warsono, pengusaha dari Juwana, yang menganggap kenaikan PBB mencekik rakyat.
“Lebih parah lagi, [Bupati Sudewo] menantang rakyat [dengan mengatakan], ‘Jangan 5 ribu (orang demo), 50 ribu saya tidak gentar’. Inilah hal yang sangat menggugah hati rakyat. Bupati Sudewo tidak layak di Kabupaten Pati,” kata Warsono.

Kekecewaan masyarakat yang memuncak hingga menimbulkan demo besar di Pati sesungguhnya hanyalah secuplik dari fenomena nasional yang lebih besar.
Kementerian Dalam Negeri mencatat setidaknya 104 pemerintah kabupaten/kota telah menaikkan tarif PBB-P2 sejak 2024, dengan 20 pemerintah daerah (pemda) di antaranya bahkan menaikkan di atas 100%.
Data yang dihimpun D'moneyTalk, pemda yang menaikkan PBB di atas 100% di antaranya Kabupaten Pati (250%), Kota Cirebon (1.000%), Kabupaten Jombang (400%), Kabupaten Bone (300%), Kabupaten Semarang (400%), dan Kabupaten Badung (3.500%).
Rasio kenaikan PBB P2 dapat berbeda-beda tergantung metode penghitungan sesuai peraturan daerah dan nilai jual objek pajak (NJOP).

Kenapa Daerah Ramai-Ramai Naikkan PBB?
Akar dari gelombang kenaikan PBB-P2 yang memicu gejolak di Pati, Bone, dan berbagai daerah lainnya tak lepas dari pengaruh kebijakan Jakarta. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai, kebijakan ini imbas dari lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
UU HKPD memberikan dua senjata utama bagi pemda untuk mengerek penerimaan PBB-P2. Pertama, menaikkan plafon atau batas atas tarif pajak. Direktur Eksekutif KPPOD Herman N Suparman menjelaskan, UU HKPD mengubah ketentuan di UU sebelumnya (UU 28/2009) yang membatasi tarif PBB-P2 maksimal 0,3%.
“Undang-undang sekarang menjadi maksimal 0,5%,” ujar Herman.
Dengan landasan hukum ini, pemda bisa menetapkan tarif baru—bervariasi antara 0,1 hingga 0,5%—melalui peraturan daerah masing-masing.

Senjata kedua adalah kewenangan kepala daerah untuk menyesuaikan NJOP yang menjadi dasar utama penghitungan PBB. Ketentuan ini diatur di Pasal 40 ayat 7 UU HKPD. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyebut landasan hukum ini jadi instrumen yang paling mudah "diotak-atik" kepala daerah.
Bhima mencontohkan sebuah rumah yang sejak tahun 90-an nilai tanahnya tidak pernah divaluasi ulang dan masih tercatat Rp 200.000 per meter. Dengan aturan baru, pemda bisa langsung menyesuaikannya dengan harga pasar saat ini yang sudah mencapai Rp 2 juta per meter, apalagi jika di dekatnya baru dibangun proyek strategis seperti jalan tol.
Skenario semacam itu bukan isapan jempol semata. Sebab kenaikan NJOP yang terjadi di Kota Cirebon didasarkan pada survei zona nilai tanah. Laporan KPPOD pada Januari-Juni 2025 menyebut hal itu membuat masyarakat bisa dikenai kenaikan PBB P2 dalam rentang 100-1000%.

Kombinasi dari kenaikan tarif dan lonjakan NJOP inilah yang menciptakan "efek kejut" bagi masyarakat. Bupati Pati Sudewo mengeklaim penyesuaian NJOP baru dilakukan sekarang setelah 14 tahun tidak pernah diperbarui. Adapun di UU HKPD, kata Herman, mengamanatkan penyesuaian NJOP dilakukan paling lama tiap tiga tahun sekali.
Herman berpendapat, secara aturan hukum di UU HKPD, keputusan menaikkan NJOP oleh kepala daerah dan tarif PBB P2 tidak bermasalah. Meski demikian, keputusan menaikkan NJOP tanpa adanya partisipasi publik juga tidak bisa dibenarkan karena terbukti memunculkan reaksi keras dari masyarakat.
“Dalam kasus Pati menurut kami itu tidak melibatkan publik, kita lihat resistensi sekarang itu bentuk dari ketidaktahuan mereka (rakyat) dalam proses perancangan [kebijakan]. Kedua, yang memperuncing (protes) kembali ke karakter, dengan dia menantang [rakyat demo] itu membuat gerakan masyarakat makin luas,” kata Herman.

Keuangan Daerah Lemah
Langkah pemda di berbagai daerah menaikkan PBB-P2 secara masif bukanlah keputusan yang lahir dari ruang hampa. Di baliknya, tersimpan masalah kronis yang telah lama membelit pemda: kondisi keuangan atau kapasitas fiskal yang lemah.
Berdasarkan Peta Kapasitas Fiskal Daerah yang tercantum di Peraturan Menteri Keuangan 65/2014, sebanyak 210 daerah dari total 508 kabupaten/kota di Indonesia masuk kategori fiskal rendah dan sangat rendah.
Artinya kondisi keuangan mayoritas pemda pemda di Indonesia (41%) sangat bergantung dengan dana transfer dari pemerintah pusat. Sementara itu hanya 178 daerah (35%) yang berada di kategori tinggi dan sangat tinggi, sementara 120 daerah (24%) lainnya berkategori sedang.
Bukan kebetulan bahwa daerah-daerah yang bergejolak akibat kenaikan PBB-P2 di atas 100% memiliki kapasitas fiskal yang rendah. Seperti Kabupaten Pati memiliki skor kapasitas fiskal 1,020, Kota Cirebon 1,073, Kabupaten Bone 1,014, dan Kabupaten Semarang 1,093. Sedikit lebih baik, Kabupaten Jombang dengan skor 1,262 masuk kategori "sedang".

Lemahnya kapasitas fiskal tersebut membuat sebagian besar pemda hidup bergantung terhadap suntikan dana dari pemerintah pusat. Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Gerindra, Bahtra Banong, menyebut selama ini 60-70% anggaran daerah (APBD) bergantung pada dana Transfer ke Daerah (TKD).
Ketergantungan yang terlalu tinggi ini, kata Bahtra, menjadi pangkal dari minimnya kemandirian daerah untuk menggali potensi pendapatan asli daerah (PAD).
“Makanya Pak Prabowo ngadain retreat supaya mereka (kepala daerah) lebih kreatif dalam menambah penghasilan daerahnya,” kata Bahtra.

Situasi menjadi semakin pelik ketika pemerintah pusat melakukan efisiensi anggaran sejak awal tahun. Direktur Eksekutif KPPOD, Herman N Suparman, menilai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja sebagai "trigger" yang membuat posisi pemda menjadi dilematis. Dalam Inpres 1/2025, efisiensi anggaran salah satunya memangkas dana TKD sebesar Rp 50,59 triliun.
"Ketika mereka (pemda) sebagian besar menggantungkan hidupnya pada dana [TKD], di sisi yang lain ada kebijakan efisiensi, ini tentu membuat mereka juga harus memutar otak untuk meningkatkan PAD-nya," ujar Herman.
Herman melihat masalah ini akan menjadi semakin rumit pada tahun depan. Sebab berdasarkan Rancangan APBN 2026, pemerintah mengepras alokasi dana TKD sebesar 24,8% menjadi Rp 650 triliun. Turun jauh dibandingkan proyeksi realisasi TKD pada 2025 sebesar Rp 864,1 triliun. Alokasi dana TKD pada RAPBN 2026 itu sekaligus menjadi yang terendah dalam 5 tahun terakhir.
Merujuk rencana anggaran 2026, Herman berpendapat penurunan TKD bakal menyulitkan daerah-daerah yang tak punya keunggulan di sektor jasa seperti perhotelan, restoran, dan hiburan. Sehingga pemda-pemda tersebut disinyalir bakal mengandalkan pendapatan salah satunya dari kenaikan PBB P2.
Bahtra mengakui berkurangnya dana TKD membuat sejumlah kepala daerah menaikkan PBB P2 sebagai jalan pintas untuk menambah PAD. Padahal menurutnya ada cara lain yang bisa ditempuh. Seperti mengevaluasi dan memperbaiki kinerja BUMD yang merugi atau mengembangkan potensi ekonomi lokal seperti pariwisata dan industri pengolahan.

Bahtra menegaskan berkurangnya TKD karena efisiensi anggaran sudah diperhitungkan untuk digeser ke hal-hal produktif. Sebab menurutnya Presiden Prabowo Subianto tidak ingin anggaran daerah digunakan untuk perjalanan dinas atau kegiatan yang bersifat seremonial belaka.
Sementara itu Kepala Kantor Komunikasi Presiden (Presidential Communication Office/PCO) Hasan Nasbi menyatakan, analisa yang mengaitkan tindakan sejumlah pemda menaikkan PBB P2 dengan kebijakan efisiensi Prabowo adalah prematur.
“Biasanya mereka (pemda) juga membuat [kenaikan pajak PBB P2] ini berdasarkan Perda. Kalau berdasarkan Perda itu kan Bupati bersepakat memutuskan ini dengan DPRD. Jadi elected office di sana yang sudah berunding. Bahkan kebijakan-kebijakan soal tarif PBB ini, ada yang sudah dari tahun 2023, tahun 2024,” kata Hasan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (14/8).
Jalan Tengah Pemda Menambah Anggaran
Demo besar imbas kenaikan drastis PBB-P2 di Pati maupun Bone memunculkan pertanyaan: Bagaimana pemerintah daerah bisa mandiri tanpa harus mencekik leher warganya sendiri?
Memang, di tengah impitan fiskal dan tekanan efisiensi, menaikkan PBB-P2 secara drastis seakan jadi jalan pintas yang menggoda. Tapi jalan pintas ini membebani warga seperti Sunarto, Sari, hingga Warsono di Pati.
Beban itulah yang menurut Sosiolog UGM Derajad Sulistyo, menimbulkan contentious politis—kondisi di mana rakyat secara kolektif tergerak melakukan aksi politik berhadapan dengan pemerintah karena periuk nasi mereka akibat kenaikan PBB P2 menjadi terganggu.
“Kebijakan pajak ini yang menjadi pemicu dari berbagai revolusi yang terjadi di Eropa atau Amerika. Pajak ini tidak bisa menyalahkan pihak ketiga atau asing. Pajak ini negara dengan rakyat, vis a vis (berhadap-hadapan),” kata Derajad.

Sehingga ia menilai Prabowo perlu lebih sering turun ke daerah-daerah untuk mendengar langsung jeritan masyarakat.
Selain itu, untuk mengurangi beban rakyat kecil, para ahli merekomendasikan resep jitu untuk mengerek PAD selain menaikkan PBB. Langkah pertama dan paling mendasar, kata Herman, adalah membenahi administrasi pemungutan dengan sistem digitalisasi serta perbaikan database pajak yang masih bolong.
“Untuk membayar (pajak) tentu publik ingin agar pelayanan efisien, tidak perlu datang ke kantor, tapi cukup melalui platform digital,” kata dia.
Langkah kedua adalah keberanian mencari sumber pajak baru yang menyasar industri, bukan kantong masyarakat. Direktur CELIOS Bhima mendorong pemda lebih agresif memajaki sektor-sektor industri ekstraktif yang selama ini banyak mengeruk keuntungan dari sumber daya alam suatu daerah, namun dianggap minim kontribusi.
"Di Pati itu [ada pabrik] semen, sasar semen. [Contoh lain] ada pajak polusi udara, pajak debu pabrik. Itu kalau mau nyari duit yang cepat langsung itu. Jadi bergejolaknya pun enggak apa-apa," ujar Bhima.

Menurutnya, solusi jangka pendek itu bahkan bisa menempatkan kepala daerah sebagai pahlawan karena berani berhadapan dengan para pengusaha besar, ketimbang memajaki masyarakat secara umum.
“Kalau ini (menaikkan PBB) versus grassroot, publik, jadinya liar ada pemakzulan dll. Kalau [menyasar] perusahaan enggak mungkin sampai ke situ,” ucapnya.
Sementara itu solusi jangka panjang yang lebih berkelanjutan, kata Bhima, adalah dengan menumbuhkan potensi ekonomi daerah. Bhima menilai selain menarget investasi asing, pemda bisa memfasilitasi hilirisasi sesuai dengan produk unggulan di daerahnya, baik dari sisi regulasi hingga perizinan industri.

Bahtra Banong berpendapat, setiap pemda harus mengidentifikasi dan mengembangkan potensi unggulannya, entah itu pertanian, perikanan, atau industri. Sehingga daerah bisa menghasilkan produk unggulan yang bisa meningkatkan perputaran ekonomi dan basis pajak secara alami.
“Ini dimulai sama Pak Prabowo, misal kita galakkan ketahanan pangan dengan program Makan Bergizi Gratis. Itu bukan hanya sekadar memberi makan, dia butuh bahan baku: beras, daging, telur, susu. Artinya daerah harus mampu menyiapkan itu. Kalau berjalan baik, dengan sendirinya perekonomian di daerah pasti akan meningkat,” tutup Bahtra.