DEMAK BICARA - Kelaparan yang kini melanda Gaza bukanlah bencana alam, melainkan akibat langsung dari perang berkepanjangan, blokade ketat, dan kebijakan sistematis yang menekan rakyat Palestina. Di balik angka statistik yang dingin, ada wajah-wajah anak kecil yang tubuhnya kian kurus, para ibu yang kehilangan air susu karena kurang gizi, serta keluarga yang bertahan hidup hanya dengan sepotong roti kering per hari. Tragedi ini menyingkap luka lama: lebih dari tujuh dekade penderitaan rakyat Palestina sejak tanah mereka dirampas pada tahun 1948.
Akar Konflik Panjang: Dari Nakba hingga Blokade Gaza

Sejarah kelaparan di Gaza tidak bisa dilepaskan dari perang Palestina–Israel. Pada tahun 1948, berdirinya negara Israel memicu Nakba—“malapetaka” bagi rakyat Palestina. Lebih dari 750 ribu orang terusir dari tanahnya sendiri, meninggalkan rumah dan kebun yang diwariskan turun-temurun. Mereka menjadi pengungsi di Tepi Barat, Gaza, Lebanon, hingga Yordania.
Dua dekade kemudian, Perang Enam Hari 1967 membuat Israel menduduki Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza. Sejak saat itu, rakyat Palestina hidup di bawah pendudukan militer yang brutal. Meski Gaza sempat ditinggalkan Israel pada 2005, wilayah kecil berpenduduk lebih dari 2 juta orang itu tidak pernah benar-benar bebas.
Sejak 2007, Israel dan Mesir memberlakukan blokade penuh terhadap Gaza setelah Hamas mengambil alih kekuasaan di sana. Jalur darat, laut, dan udara dikontrol ketat. Barang-barang esensial, mulai dari pangan, obat-obatan, hingga bahan bakar, dibatasi masuknya. Gaza pun berubah menjadi “penjara terbuka terbesar di dunia”.
Jalur Gaza: Tanah yang Padat, Terkepung, dan Terlupakan

Gaza hanyalah sebidang tanah sempit, panjang sekitar 41 km dengan lebar 6–12 km, tapi dihuni lebih dari 2,2 juta jiwa. Kepadatan ini membuat setiap serangan udara, blokade, atau penghentian pasokan berdampak langsung pada seluruh penduduk. Infrastruktur hancur, listrik hanya menyala beberapa jam sehari, dan air bersih menjadi barang mewah.
Sebelum perang terbaru, lebih dari 60% warga Gaza sudah bergantung pada bantuan pangan internasional. Kini, ketika akses bantuan semakin dibatasi, kelaparan menjadi wajah sehari-hari.
Krisis Pangan yang Memuncak

Organisasi Pangan Dunia (WFP) dan PBB berulang kali memperingatkan: Gaza menghadapi krisis kelaparan paling parah di dunia saat ini. Menurut laporan IPC (Integrated Food Security Phase Classification), lebih dari setengah populasi Gaza berada dalam fase darurat kelaparan, dan ratusan ribu orang terancam mati kelaparan dalam hitungan bulan.
Bayangkan, satu keluarga hanya bisa tidak makan beberapa hari. Anak-anak mengais sisa makanan di jalan, sementara orang tua rela menahan lapar agar anak mereka bisa mendapat sesuap nasi. Banyak bayi meninggal karena malnutrisi dan dehidrasi.
Seorang anak di Gaza bercerita kepada media internasional sambil memasukan tanah ke mulutnya, “Saya tidak punya apa-apa untuk dimakan.”
Kelaparan sebagai Senjata Perang

Tragedi Gaza begitu memilukan adalah fakta bahwa kelaparan di sana bukanlah sekadar dampak sampingan perang, melainkan digunakan sebagai senjata perang oleh Israel. Dengan membatasi akses pangan, air, dan obat-obatan, Israel menekan warga sipil Gaza hingga kematian.
Strategi ini bukan baru terjadi sekarang. Sejak blokade diberlakukan, pasokan ke Gaza dihitung dengan presisi. Dokumen bocoran yang pernah dipublikasikan bahkan menunjukkan bagaimana jumlah kalori yang boleh masuk ke Gaza dihitung agar cukup untuk bertahan hidup, tapi tidak untuk berkembang.
Dampak Kemanusiaan yang Menghancurkan
Kelaparan di Gaza tidak hanya berarti perut kosong. Dampaknya merembet ke semua aspek kehidupan:
-
Kesehatan Fisik: Anak-anak mengalami stunting permanen, sistem imun melemah, dan penyakit mudah menular karena tubuh tak mampu melawan infeksi.
-
Kesehatan Mental: Trauma perang diperparah rasa lapar kronis. Anak-anak tumbuh dalam ketakutan dan kekurangan, kehilangan rasa aman.
-
Pendidikan: Banyak sekolah hancur atau dijadikan tempat pengungsian. Anak-anak yang lapar sulit belajar.
-
Ekonomi: Blokade menghancurkan perekonomian lokal. Nelayan tak bisa melaut, petani tak bisa mengakses lahan, industri tak bisa beroperasi.
Hambatan Bantuan Kemanusiaan

Bantuan internasional seharusnya menjadi jalan keluar. Namun, truk-truk bantuan yang menumpuk di perbatasan Rafah dan Kerem Shalom sering tertahan berhari-hari karena izin Israel. Banyak truk berisi makanan basi sebelum sampai ke Gaza.
PBB dan organisasi kemanusiaan berulang kali menuduh Israel memperlambat, bahkan menghalangi masuknya bantuan. Sementara itu, kondisi di Gaza semakin memburuk. Rumah sakit kehabisan obat, bayi lahir tanpa inkubator, dan pengungsi bertahan hidup di tenda dengan makanan seadanya.
Politik Global yang Rumit

Mengapa dunia tidak bisa segera menghentikan kelaparan ini? Jawabannya ada pada politik global. Resolusi Dewan Keamanan PBB sering diveto oleh negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, yang mendukung Israel. Meski ada kecaman keras dari berbagai belahan dunia, langkah nyata untuk menghentikan blokade atau membuka jalur kemanusiaan jarang berhasil.
Negara-negara Arab dan Muslim memang sering menyerukan solidaritas, namun langkah konkret masih terbatas. Sementara itu, rakyat Gaza terus menunggu keajaiban yang tak kunjung datang.
Suara dari Gaza
Mendengar langsung suara mereka yang hidup di Gaza membuat tragedi ini lebih nyata. Ahmed, seorang remaja berusia 15 tahun, berkata, “Saya sudah lupa rasanya makan daging. Kami hanya makan roti kering. Kadang hanya air.”
Sementara Mariam, seorang ibu muda, menangis ketika menceritakan bayinya yang meninggal karena kurang gizi. “Dia hanya butuh susu. Tapi tidak ada yang bisa saya berikan.”
Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa di balik laporan PBB dan angka statistik, ada kehidupan nyata yang sedang runtuh.
Harapan dan Jalan Keluar
Meski situasi terlihat gelap, selalu ada secercah harapan. Tekanan masyarakat sipil dunia semakin besar. Gerakan solidaritas Palestina menggema di berbagai negara. Desakan agar jalur kemanusiaan dibuka terus bergulir.
Solusi jangka pendek adalah memastikan akses penuh bantuan kemanusiaan tanpa hambatan politik. Jangka panjangnya, hanya ada satu jalan: mengakhiri blokade dan mencari solusi adil atas konflik Palestina–Israel. Tanpa itu, kelaparan di Gaza akan terus berulang.***