
Secara sederhana, komunikasi publik bisa diartikan sebagai proses penyampaian pesan dari satu pihak kepada masyarakat luas. Tujuannya adalah membentuk pendapat, menyampaikan informasi, atau memengaruhi tingkah laku masyarakat agar mendapatkan respons yang positif. Berbeda dengan komunikasi antar pribadi yang bersifat pribadi, komunikasi publik terjadi di ruang terbuka dan melibatkan audiens yang beragam, baik secara demografis maupun ideologis.
Proses ini bisa dilakukan melalui berbagai jenis media, baik yang tradisional maupun modern seperti televisi, radio, jejaring sosial, atau forum umum. Terkadang juga dimanfaatkan oleh tokoh masyarakat, lembaga pemerintah, organisasi, atau aktivis dalam menyampaikan gagasan, kebijakan, atau ajakan untuk berpartisipasi.
Komunikasi publik yang dilakukan pemerintah dengan nuansa politik perlu disusun secara strategis, jujur, dan berfokus pada kepentingan masyarakat. Setiap pernyataan dari pejabat negara memiliki makna politik, sehingga gaya bahasa dan isi pesan tidak boleh hanya bersifat retoris atau sekadar untuk membangun citra.
Komunikasi seperti ini harus didasarkan pada data yang dapat diverifikasi, menggunakan bahasa yang bersifat inklusif, serta menghindari istilah-istilah yang bersifat memecah belah atau memperkuat perpecahan. Terlebih lagi, masyarakat saat ini semakin sadar akan politik dan memiliki akses yang luas terhadap informasi, sehingga komunikasi yang tidak hati-hati bisa dengan mudah menimbulkan penolakan.
- Menteri Nusron Memohon Maaf Terkait Pernyataan Tanah yang Tidak Dimanfaatkan Akan Disita oleh Negara
- Sri Mulyani Anggraini Mengungkapkan Pandangan tentang Kesempatan Kenaikan Gaji Pegawai Negeri Sipil Tahun Depan
- Hasan Nasbi Gagal Mengundurkan Diri Sebagai Kepala PCO, Puan Menyentuh Hak Prerogatif Presiden
Pemerintah juga perlu mampu menyampaikan visi serta dampak kebijakan secara jelas agar masyarakat memahami tujuan perubahan yang diinginkan. Tanggapan terhadap kritik dan harapan rakyat harus menjadi bagian dari cerita, bukan dihindari, karena komunikasi politik yang baik adalah komunikasi yang menciptakan ruang dialog.
Pertama-tama, komunikasi publik pemerintah harus selalu konsisten dalam hal nilai dan kepribadian, mencerminkan integritas serta komitmen terhadap keadilan sosial. Dalam konteks ini, komunikasi bukan hanya sarana menyampaikan informasi, tetapi juga alat untuk membangun kepercayaan dan legitimitas demokratis.
Saya mengumpulkan beberapa pernyataan dari pejabat yang menimbulkan kontroversi dan menunjukkan kelemahan dalam komunikasi publik. Mulai dari Hasan Nasbi yang menyatakan “kepala babi lebih baik dimasak sajaSaat merespons ancaman terhadap media; Sri Mulyani mengajukan pertanyaan apakah gaji guru dan dosen sepenuhnya menjadi tanggungan pemerintah; Nusron Wahid menyatakan bahwa tanah tidak dimiliki individu, melainkan oleh negara; Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa peristiwa Mei 1998 bukanlah pelanggaran HAM yang berat; hingga Natalius Pigai yang menyarankan peningkatan anggaran kementerian dari Rp 64 miliar menjadi Rp 20 triliun. Ada juga Yandri Susanto yang memakai kop dan stempel resmi Kementerian Desa untuk undangan pribadi acara haul orang tuanya. Semua hal ini menunjukkan bahwa komunikasi publik belum menjadi prioritas utama dalam birokrasi.
Pertanyaannya adalah, mengapa banyak pejabat publik kurang memahami komunikasi publik secara etis dan penerapannya di lapangan? Apakah karena mereka cenderung memandang komunikasi hanya sebagai prosedur administratif belaka? Padahal, kami para pengajar komunikasi menyadari bahwa komunikasi publik yang dilakukan oleh pejabat negara merupakan bagian dari komunikasi politik yang bersifat resmi dan strategis, bertujuan untuk menciptakan kepercayaan serta legitimasi di mata masyarakat.
Komunikasi publik bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh dan dijawab dengan santai, seperti pertanyaan "lemari apa yang kalian pakai hari ini?dalam konten "Citayam Fashion Week."”Atau secara sederhana disebut "anak jaksel", yang bertanya "Jadi, bagaimana suasana hari ini?Hanya ingin bertanya mengenai kegiatan hari ini.
Semua orang tahu, isu yang serius, terutama yang bersifat politik, memerlukan jawaban yang bertanggung jawab, berdasarkan data, serta etis. Bahkan untuk isu yang sifatnya ringan, pejabat negara sebaiknya tetap merespons dengan sopan, komunikatif, sesuai konteks, dan tetapfriendlyatau jawaban yang hangat dan ramah.
Dalam proses komunikasi, yang diperlukan adalah umpan balik yang bersifat membangun dan meningkatkan makna. Atau mungkin, banyak kementerian belum memiliki divisi komunikasi publik yang ahli, yang mampu menciptakan narasi kuat untuk para menteri mereka. Akibatnya, tanggapan terhadap media cenderung spontan, defensif, dan tidak terencana.
Saya tidak memahami secara detail struktur birokrasi pemerintahan, namun memiliki divisi komunikasi publik di dalam kementerian merupakan kebutuhan strategis yang tidak bisa ditinggalkan. Jabatan ini sebaiknya tidak hanya diisi oleh ASN yang hanya mengerti cara menggunakan kamera, mengelola media sosial, atau menyusun pernyataan pers. Pelaku posisi ini seharusnya juga menguasai komunikasi strategis, memahami komunikasi politik, serta mampu mengubah data menjadi narasi yang sesuai dan berdampak.
Di sisi lain, para menteri juga harus menghilangkan sikap egois sebagai pejabat yang tidak terpengaruh oleh kritik, dan mulai menerima saran dari divisi komunikasi publik dengan rendah hati. Divisi ini berfungsi sebagai jembatan antara kebijakan dan masyarakat, memastikan bahwa setiap informasi yang disampaikan tidak hanya benar, tetapi juga mudah dipahami, diterima, serta memiliki dampak sosial yang nyata.
Tanpa adanya divisi komunikasi publik yang memadai dan pejabat yang mampu berkomunikasi secara efektif, kebijakan yang baik bisa gagal akibat kesalahpahaman, interpretasi yang salah, atau bahkan penolakan dari masyarakat yang sebenarnya dapat dihindari melalui narasi yang tepat. Dampaknya tidak hanya merugikan kementerian terkait, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.
Kita perlu selalu mengingat bahwa masyarakat Indonesia kini hampir mencapai 290 juta jiwa, dengan tingkat keragaman yang sangat besar—tidak hanya dalam hal budaya, agama, dan etnis, tetapi juga dalam cara berpikir serta pandangan politik. Perbedaan latar belakang pendidikan, akses terhadap informasi, serta pengalaman sejarah dan lokalitas membentuk perspektif yang beragam terhadap isu-isu sosial dan kebijakan publik.
Departemen komunikasi publik juga bertugas menjaga keseragaman pesan, menciptakan citra lembaga, serta merespons perubahan sosial dan kritik dengan pendekatan yang konstruktif. Dalam konteks politik, komunikasi publik bukan hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi bagian dari penguatan otoritas dan proses demokratisasi. Departemen ini harus mampu merancang narasi yang inklusif, penuh empati, dan berdasarkan data, serta menyesuaikan gaya komunikasi sesuai dengan karakter audiens yang beragam. Di era digital, divisi ini menjadi garda terdepan dalam menghadapi penyebaran informasi palsu dan membangun kepercayaan masyarakat melalui saluran resmi maupun media sosial.
Pada akhirnya, ketidakoptimalan komunikasi publik bukanlah keadaan yang tetap dan tidak bisa diperbaiki. Justru, hal tersebut merupakan ruang strategis yang penuh dengan peluang untuk diubah kembali. Ketika komunikasi publik tidak mampu menyentuh masyarakat secara efektif, sering kali bukan karena kurangnya informasi, melainkan karena narasi yang lemah, kurangnya empati, atau tidak adanya pemahaman yang tepat terhadap audiens. Namun, semua hal tersebut dapat diperbaiki dengan pendekatan yang lebih reflektif, partisipatif, dan berbasis data. Saya teringat ucapan Paul Watzlawick:We cannot not communicate.”