
PIKIRAN RAKYAT - Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) memang sudah 'merampas' kehidupan.
Akan tetapi, sepatutnya, antara manusia dan teknologi AI harus saling mengisi dan berkolaborasi. Pasalnya, biar bagaimana pun, AI adalah buatan manusia.
Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung Prof Yasraf Amir Piliang menjelaskan, dua dekade terakhir, kemajuan AI telah mengubah secara radikal kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Al secara signifikan telah mendisrupsi berbagai aspek hubungan sosial, komunikasi manusia, keterampilan sosial, kebiasaan budaya, perilaku, dan nilai-nilai etika.
Perubahan ini merupakan efek dari berbagai keterjangkauan yang disediakan teknologi digital, termasuk sistem Al. Keterjangkauan digital ini, kata Yasraf, mempengaruhi praktik ideologis, konten, relasi kuasa, dan mekanisme sosial.
"Kecerdasan buatan menggunakan algoritma dalam mesin dan fokus pada pemberian kemampuan kognitif. Seperti penalaran, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan pengenalan (recognition)," kata Yasraf.
Hal itu dia sampaikan pada seminar "AI (Un) Boundaries: Exploring The Limits and Possibilities of Artificial Intelligence in Art, Kriya, and Design" yang digelar Institut Seni Budaya Bandung di Bandung Creative Hub, Jalan Laswi, Kota Bandung, Rabu 24 September 2025.
Yasraf menyebutkan, seperti teknologi pada umunya, AI juga memiliki kelemahan dan kekuatan. Kelemahan AI antara lain, perlu dilatih untuk melakukan dan mengulangi perilaku yang diamati serta tugas yang diberikan.
Kemudian, AI sangat bergantung pada manusia untuk menentukan batasan proses pembelajaran dan menyediakan data pelatihan yang relevan. Terakhir, AI lemah dalam machine leraning, data mining, pemrosesan bahasa, dan pengenalan pola.
Di balik kelemahan, ada kekuatan AI, di antaranya AI dilengkapi dengan rasa kesadaran seperti manusia serta kemampuan untuk bernalar dan berpikir.
"Selain mampu mengintegrasikan informasi, AI juga dapat secara otonom memprogram ulang dirinya sendiri. Lalu, AI juga bisa memodifikasi fungsinya untuk melakukan tugas-tugas umum yang memerlukan kecerdasan, kepekaan, dan kesadaran," ungkap Yasraf.
Pada konteks antara AI dan seni, Yasraf menjelaskan, kendati AI memiliki banyak variasi dan inovasi, kondisi seni atau sastra saat ini tidak menjadi ancaman bagi para penulis atau seniman.
Soalnya, hanya pencipta manusia yang akan memahami mengapa pikiran manusia lainnya ingin mengikuti mereka dalam perjalanan kreatif.
Begitu pula antara AI dan kriya. AI yang terintegrasi dengan printer 3D dan robot dapat menghasilkan produk-produk kriya dengan tingkat ketelitian dan kepresisian yang tinggi.
Sementara itu, di bidang desain, AI dapat menghasilkan desain yang secara komprehensif dan terintegrasi sudah mempertimbangkan faktor manusia, sosial, ekonomi, budaya, teknologi, hukum, dan teknik produksi.
"Al memang dapat menghasilkan karya seni, tetapi dengan cara mereduksi esensi seni. Tidak diragukan lagi, komputer akan membantu kita dalam perjalanan tersebut, dan menjadi teleskop serta mesin. Akan tetapi, AI bukanlah pengarang cerita (story teller)," ucap Yasraf.
AI hanyalah alat
Dekan FSRD Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Prof Husen Hendriyana menekankan, AI adalah alat, bukan pencipta. AI generatif tidak sepenuhnya menggantikan peran seniman.
Sebaliknya, ia berfungsi sebagai alat canggih yang memperluas kreativitas seniman. Proses kreatif bergantung pada masukan, arahan, dan penyempurnaan dari seniman untuk menghasilkan karya yang bermakna.
"Meski Al dapat menciptakan karya visual yang indah, asumsi awal mungkin menyatakan bahwa ia belum dapat menandingi kedalaman emosi, penceritaan, dan sentuhan pribadi yang ada dalam seni tradisional, misalnya, lukisan tangan atau patung). Ada batasan dalam kemampuan Al untuk memahami dan merefleksikan pengalaman manusia secara autentik," ujar Husen. (*)
0 Please Share a Your Opinion.: