Selasa, 07 Oktober 2025

Trauma Masa Kecil Bikin Gaya Pacaran Berantakan? Ini Fakta Psikologis yang Wajib Kamu Tahu!

Trauma Masa Kecil Bikin Gaya Pacaran Berantakan? Ini Fakta Psikologis yang Wajib Kamu Tahu!

D'moneyTalk – Banyak orang sering bertanya-tanya mengapa hubungan percintaan mereka berjalan penuh drama, sulit langgeng, atau terasa toxic. Ternyata, jawabannya bisa ditelusuri jauh ke masa lalu, tepatnya pada pengalaman masa kecil yang meninggalkan trauma.

Psikiater dan konten kreator kesehatan mental, dr. Elvine Gunawan, Sp.Kj, dalam salah satu video edukasinya di TikTok menjelaskan bahwa trauma masa kecil ibarat “cetak biru” yang ikut memengaruhi pola hubungan seseorang. “Apa yang tidak diselesaikan di masa lalu akan terbawa sampai dewasa, termasuk dalam hubungan romantis,” ujarnya.

Menurut Elvine, trauma emosional bisa muncul dalam bentuk abandonment issue (takut ditinggalkan), trust issue (sulit percaya), hingga pola people pleasing (selalu berusaha menyenangkan pasangan agar tidak ditolak). Tanpa disadari, luka batin itu kemudian membentuk gaya pacaran tertentu.

Hal senada juga diungkapkan Jiemi Ardian, seorang psikolog klinis yang aktif berbagi edukasi kesehatan mental di media sosial. Dalam unggahan videonya, Jiemi menyebut bahwa anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kritik atau kurang kasih sayang sering kali kesulitan mengekspresikan emosi ketika berhubungan dengan pasangan. Hasilnya, hubungan bisa jadi penuh salah paham.

Lalu, bagaimana sebenarnya trauma masa kecil memengaruhi gaya pacaran?

Pola Hubungan yang Terbentuk

Berdasarkan rangkuman diskusi di kanal Greatmind bersama sejumlah pakar, ada beberapa pola yang sering terlihat:

  1. Avoidant (menghindar). Orang dengan trauma penolakan di masa kecil cenderung menjaga jarak dengan pasangan, sulit terbuka, dan menghindari konflik.

  2. Anxious (cemas berlebihan). Mereka yang tumbuh dengan pola asuh tidak konsisten kerap takut ditinggalkan. Akibatnya, mereka jadi mudah cemburu, menuntut kepastian, atau sering merasa tidak cukup dicintai.

  3. Disorganized (campuran). Gaya ini muncul dari pengalaman masa kecil yang penuh kekerasan atau ketidakstabilan. Hubungan yang dijalani terasa naik-turun, penuh tarik-ulur, bahkan bisa berubah toxic.

  4. Secure (aman). Meski jarang, ada juga individu yang mampu membangun gaya pacaran sehat. Biasanya karena mereka berhasil melakukan proses penyembuhan atau mendapat dukungan positif di kemudian hari.

Menurut dr. Elvine, kunci pentingnya adalah kesadaran diri. “Seseorang perlu mengenali pola hubungan yang dijalani. Dari situ, mereka bisa mulai memperbaiki dengan cara yang sehat,” jelasnya.

Dampak Jangka Panjang

Jika tidak diatasi, trauma masa kecil bisa memicu hubungan yang tidak stabil, penuh konflik, bahkan kekerasan emosional. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menurunkan kepercayaan diri dan memengaruhi kesehatan mental.

Konten edukasi yang diunggah akun Bloom Media di TikTok menekankan pentingnya proses inner healing. Menghadapi trauma bukan berarti melupakan masa lalu, melainkan berdamai dengan pengalaman tersebut agar tidak terus terbawa dalam hubungan.

Bagaimana Cara Mengatasinya?

Para pakar menekankan beberapa langkah sederhana yang bisa mulai dilakukan:

  • Kenali Pola Diri Sendiri

Sadari apakah kamu sering merasa takut ditinggalkan, sulit percaya, atau justru menghindari kedekatan.

  • Komunikasi dengan Pasangan

Buka pembicaraan jujur tentang perasaan dan kebutuhanmu. Dengan komunikasi sehat, pasangan bisa lebih memahami latar belakangmu.

  • Cari Dukungan Profesional

Jika trauma terasa berat, jangan ragu menemui psikolog atau psikiater. Menurut dr. Elvine, terapi kognitif-perilaku (CBT) bisa membantu mengubah pola pikir negatif yang terbentuk sejak kecil.

  • Bangun Pola Hubungan Baru

Latih diri untuk menciptakan hubungan yang aman, saling percaya, dan penuh respek.

Dengan langkah-langkah tersebut, seseorang bisa keluar dari siklus trauma dan mulai membangun hubungan yang lebih sehat.

Kesadaran Adalah Kunci

Trauma masa kecil memang bukan sesuatu yang bisa dihapus begitu saja. Namun, kesadaran akan pengaruhnya dalam gaya pacaran dapat menjadi langkah awal untuk memperbaiki diri. Seperti dikatakan dr. Elvine, “Masa lalu tidak bisa diubah, tapi kita bisa memilih cara baru untuk menjalaninya di masa depan”.

Setiap orang membawa cerita masa kecilnya masing-masing ke dalam hubungan yang dijalani saat dewasa. Ada yang penuh kasih sayang, ada pula yang menyisakan luka. Namun, penting untuk memahami bahwa masa lalu tidak menentukan segalanya. Dengan kesadaran diri, dukungan pasangan, serta bantuan profesional, pola hubungan yang semula tidak sehat bisa diperbaiki. Pada akhirnya, hubungan yang sehat dan bahagia bukan ditentukan oleh trauma masa lalu, melainkan oleh usaha bersama untuk tumbuh dan saling memahami.

Kamis, 02 Oktober 2025

9 Ungkapan Guru di Masa Lalu yang Bisa Menimbulkan Trauma Anak Sekolah Sekarang

9 Ungkapan Guru di Masa Lalu yang Bisa Menimbulkan Trauma Anak Sekolah Sekarang

D'moneyTalkMetode pengajaran dan pemahaman psikologi anak telah berkembang pesat sejak tahun 70-an dan 80-an.

Hal ini memunculkan perbedaan besar dalam cara guru berkomunikasi dengan murid-murid mereka. Frasa yang dulu dianggap biasa, kini bisa dianggap sebagai bentuk trauma psikologis.

Melansir dari Geediting.com Selasa (26/8), beberapa ungkapan yang digunakan guru-guru di era tersebut kini menjadi penyebab kekhawatiran.

Mempelajari ungkapan ini adalah cara untuk memahami perubahan cara pandang terhadap kesehatan mental anak. Berikut ini sembilan ungkapan yang dimaksud.

1. "Saya Tidak Peduli Siapa yang Memulainya"

Frasa ini adalah respons universal untuk setiap perselisihan atau pertengkaran di antara siswa. Guru saat itu tidak berusaha memahami akar masalahnya, hanya ingin menghentikan konflik. Ini mengabaikan perasaan anak-anak dan tidak mengajarkan mereka untuk menyelesaikan masalah.

2. "Berhenti Menangis atau Saya Beri Kamu Sesuatu untuk Ditangisi"

Ungkapan ini adalah bentuk ancaman untuk membuat seseorang berhenti menangis. Alih-alih memberikan kenyamanan, itu justru menekan emosi dan membuat anak merasa takut. Hal ini mengajarkan anak-anak bahwa emosi mereka tidak valid dan harus disembunyikan.

3. "Kamu Tidak Hidup Sesuai Potensimu"

Di masa lalu, guru percaya hanya ada satu standar untuk semua siswa. Frasa ini bisa membuat anak merasa tidak berharga dan gagal, meskipun mereka sudah berusaha. Hal ini tidak menghargai setiap anak yang memiliki kecepatan dan cara belajar yang berbeda.

4. "Tongkat dan Batu Boleh Mematahkan Tulangmu, tapi Kata-kata Tidak Akan Menyakitimu"

Pepatah lama ini digunakan untuk meremehkan dampak dari perundungan verbal. Sains modern membuktikan bahwa kata-kata dapat melukai otak dan meninggalkan trauma. Frasa ini mengajarkan anak untuk menekan perasaan mereka dan menerima perlakuan buruk.

5. "Namanya Juga Anak Laki-laki"

Ungkapan ini memberi izin bagi anak laki-laki untuk berperilaku buruk. Mulai dari merusak barang hingga melecehkan anak perempuan, semua dimaafkan dengan kalimat ini. Hal ini membentuk pandangan gender yang toksik dan tidak menghormati anak perempuan.

6. "Sudah Dicoba Berpikir Lebih Keras?"

Guru di era itu mengharapkan siswa untuk mengikuti satu pola pikir saja. Kalimat ini menyiratkan bahwa siswa bodoh jika tidak langsung memahami sesuatu. Ini adalah frasa yang meremehkan proses belajar dan berpikir.

7. "Ini Akan Masuk ke Catatan Permanenmu"

Guru menggunakan frasa ini sebagai bentuk ancaman tanpa mempertimbangkan dampak psikologisnya. Mereka berharap anak-anak patuh karena takut masa depan mereka rusak. Frasa ini mengintimidasi dan memanipulasi anak secara emosional.

8. "Dengarkan Saya, Saya Orang Dewasa"

Ungkapan ini menunjukkan otoritas absolut dan menolak segala bentuk pertanyaan atau keraguan dari anak. Hal ini membungkam keingintahuan anak-anak dan membuat mereka takut untuk berpikir kritis. Mereka diajarkan untuk tidak mempertanyakan otoritas orang dewasa.

9. "Jalani Saja"

Frasa ini digunakan sebagai respons atas cedera atau rasa sakit yang tidak terlihat. Guru menganggap cedera yang dialami anak sebagai sesuatu yang sepele dan dapat diabaikan. Ini meremehkan pengalaman fisik dan emosional anak.

Pergeseran cara pandang ini mencerminkan kesadaran yang semakin tinggi terhadap kesehatan mental anak. Kita belajar bahwa cara berkomunikasi dengan anak-anak memiliki dampak jangka panjang pada diri mereka. Penting untuk memahami mengapa kalimat yang seolah-olah tidak berbahaya ini bisa jadi sangat menyakitkan.

Hal ini menekankan pentingnya komunikasi yang penuh empati dan rasa hormat dalam mendidik anak. Perlu diingat bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk membentuk atau bahkan merusak jiwa anak. Kita harus berhati-hati dalam setiap ucapan.