Sabtu, 04 Oktober 2025

Industri Pengetahuan dan Nasib Dosen: Kritik Atas Persyaratan Publikasi Scopus untuk Guru Besar

Oleh: Dr Suharsiwi, M.Pd, Peneliti dan Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta

Radar Info.CO.ID, JAKARTA -- Publikasi dalam jurnal internasional yang terdaftar di Scopus kini menjadi "kunci wajib" bagi dosen Indonesia yang berkeinginan meraih jabatan akademik tertinggi, yaitu profesor.

Kebijakan ini diwujudkan dengan niat baik, untuk meningkatkan pengakuan kualitas penelitian Indonesia di kancah internasional. Namun, di balik prestise tersebut tersembunyi beban berat yang sering menguras tenaga, pikiran, bahkan keuangan para dosen.

Kewajiban Biaya yang Tidak Dapat Disangkal

Faktanya, publikasi Scopus tidak hanya terbatas pada penulisan artikel berkualitas. Dosen juga perlu menghadapi biaya publikasi (Article Processing Charge/APC) yang besarnya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Bagi para dosen di universitas besar yang memiliki dukungan dana penelitian, hal ini mungkin masih bisa diatasi. Namun, bagi dosen di perguruan tinggi swasta atau daerah, biaya sebesar itu terasa sulit ditanggung sendiri.

Perusahaan penerbit besar seperti Elsevier, Springer Nature, Taylor & Francis, dan Wiley menghasilkan miliaran dolar setiap tahun.

Penulis artikel tidak menerima imbalan,reviewerbekerja secara sukarela tanpa mendapatkan upah, namun dosen justru perlu membayar agar karyanya dapat terbit.

Penelitian terhadap dosen yang mengikuti program Visiting Professor UMM 2023 memperkuat fakta ini: 63,3 persen peserta menolak Scopus sebagai syarat kenaikan jabatan Guru Besar, karena beban biaya dan proses yang rumit.

Bahkan 73,3 persen mengatakan pendapatan dosen di Indonesia masih jauh dari layak (Policy Brief Analisis Kebijakan Publikasi Scopus).

Ketidakadilan Akademik

Kebijakan ini menimbulkan ketidakseimbangan baru dalam lingkungan akademik Indonesia. Dosen yang mengajar di universitas besar atau perguruan tinggi unggulan lebih mudah mencapai jabatan guru besar karena memiliki akses terhadap dana penelitian dan jaringan internasional.

Sebaliknya, dosen yang berada di kampus kecil, swasta, atau daerah tertinggal menghadapi tantangan berat. Kesempatan untuk naik pangkat akhirnya lebih dipengaruhi oleh kemampuan keuangan, bukan hanya kualitas pendidikan akademik.

Seorang dosen di sebuah universitas swasta pernah menceritakan, ia harus memutuskan antara menggunakan tabungan keluarga untuk biaya publikasi Scopus atau menunda ambisi menjadi profesor demi kebutuhan anak-anaknya.

Masalah semacam ini benar-benar dirasakan oleh banyak ilmuwan. Bukankah ini bentuk ketidakadilan?

Etika Akademik yang Terkikis

Tekanan untuk memenuhi kriteria Scopus juga menimbulkan dampak negatif yang berbahaya. Fenomena penyalahgunaan artikel, layanan instan, hingga penerbitan di jurnal pemangsa semakin meningkat. Alih-alih mendorong budaya penelitian yang sehat, kebijakan ini justru menciptakan ruang bagi tindakan tidak etis yang merusak integritas akademik.

Lebih mengejutkan lagi, terdapat kasus artikel yang telah terbit justru dihapus dari indeks Scopus (discontinue) akibat masalah kredibilitas jurnal. Akibatnya, artikel tersebut tidak lagi diakui dalam proses kenaikan jabatan, meskipun dosen telah mengeluarkan biaya besar dan membuang waktu penelitian.

Belajar dari Negara Lain

Beberapa negara menghadapi tantangan yang serupa, namun berusaha mengambil pendekatan yang berbeda. Seperti Malaysia, yang memberikan bantuan keuangan yang cukup besar untuk publikasi agar para dosen tidak merasa terbebani.

India memperluas pengakuan terhadap jurnal nasional yang memiliki reputasi internasional, sehingga tidak semua penelitian harus bergantung pada Scopus. Negara-negara tersebut menyadari bahwa publikasi ilmiah memang penting, tetapi kualitas tidak boleh dinilai hanya berdasarkan indeksasi, terutama yang diatur oleh perusahaan penerbit global.

Indonesia perlu mengambil pelajaran dari praktik yang baik ini. Jika terus mengandalkan Scopus, kita hanya akan semakin memperkaya penerbit asing, sementara para dosen justru semakin terbebani.

Rekomendasi Kebijakan: Penilaian dan Perubahan

Policy briefmengenai publikasi Scopus, beberapa langkah yang sebaiknya dipertimbangkan oleh pemerintah adalah:

1.Memberikan kriteria publikasi alternatif, seperti mengakui jurnal nasional yang memiliki reputasi baik (Sinta 1-2) atau jurnal regional yang terpercaya dan diakui oleh komunitas ilmiah.

2. Memberikan dukungan keuangan yang adil, khususnya untuk dosen di perguruan tinggi swasta dan daerah, agar mereka tidak perlu menghabiskan uang pribadi.

3. Memperkuat ekosistem jurnal nasional, sehingga Indonesia memiliki saluran ilmiah berkualitas global tanpa sepenuhnya bergantung pada penerbit luar negeri.

Menimbang Kembali Arah Kebijakan

Publikasi di Scopus memang penting dalam memperluas jaringan penelitian Indonesia di tingkat internasional. Namun, menjadikannya sebagai syarat wajib bagi profesor tanpa mempertimbangkan aspek keadilan hanya akan memperlebar celah ketimpangan akademik.

Pertanyaan penting muncul: apakah posisi akademik tertinggi seharusnya ditentukan oleh kemampuan membayar publikasi, bukan oleh kualitas karya dan komitmen ilmiah?

Pengetahuan seharusnya tersedia bagi semua orang, guna mendorong kemajuan masyarakat. Menganggapnya sebagai bisnis yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki dana besar merupakan penyimpangan terhadap nilai-nilai akademis yang mulia.

Penutup

Saat ini waktunya kita meninjau kembali arah kebijakan publikasi di Indonesia. Tujuan baik untuk meningkatkan kualitas penelitian tidak boleh berujung pada memberatkan dosen atau merusak etika akademik.

Pengetahuan seharusnya kembali pada tujuannya: meningkatkan kualitas hidup bangsa, bukan hanya untuk memperkaya industri penerbit internasional.

0 Please Share a Your Opinion.: