Selasa, 30 September 2025

Transformasi Ujian: Era Digital yang Lebih Efisien dan Transparan

Transformasi Ujian: Era Digital yang Lebih Efisien dan Transparan
Featured Image

Perkembangan Sistem Ujian Tertulis di Indonesia

Perkembangan teknologi telah membawa perubahan besar dalam sistem penyelenggaraan ujian tertulis di Indonesia. Dulu, peserta ujian mengerjakan soal menggunakan kertas dan pensil, namun kini mayoritas ujian sudah beralih ke sistem Computer Based Test (CBT). Perubahan ini tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga memberikan dampak yang signifikan bagi peserta, guru, hingga penyelenggara ujian.

Pendapat Terhadap Sistem Ujian Tertulis Modern

Sistem ujian berbasis komputer adalah inovasi yang layak diapresiasi. Penerapan teknologi dalam dunia pendidikan mampu meningkatkan kecepatan, transparansi, dan objektivitas dalam proses evaluasi. Namun, transisi ini juga menyisakan sejumlah tantangan yang harus dibenahi agar implementasinya lebih merata dan inklusif.

Kelebihan Ujian Berbasis Komputer (CBT)

Berikut beberapa keuntungan utama dari sistem ujian digital:

  • Proses Penilaian Otomatis dan Cepat
    Jawaban peserta langsung dikoreksi oleh sistem sehingga hasil bisa keluar dalam waktu singkat. Risiko kesalahan manusia juga dapat diminimalkan secara signifikan.

  • Transparansi dan Akuntabilitas Tinggi
    Sistem CBT merekam setiap aktivitas peserta, memudahkan pemantauan dan mencegah potensi kecurangan. Ini menjadi langkah penting dalam menciptakan ujian yang adil dan jujur.

  • Fleksibilitas Lokasi Ujian
    Peserta tidak harus datang ke satu tempat. CBT memungkinkan pelaksanaan ujian di berbagai lokasi, selama perangkat dan jaringan mendukung, terutama untuk peserta dari wilayah terpencil.

  • Efisiensi Logistik dan Ramah Lingkungan
    Tanpa perlu mencetak soal dan lembar jawaban, proses administrasi menjadi lebih sederhana, hemat biaya, serta mengurangi penggunaan kertas.

Tantangan dalam Penerapan CBT

Meski memiliki banyak manfaat, sistem ujian digital masih menghadapi beberapa kendala teknis dan sosial:

  • Masalah Teknis Selama Ujian
    Gangguan jaringan, sistem error, hingga perangkat yang tidak kompatibel sering menjadi hambatan utama. Hal ini bisa menambah beban psikologis bagi peserta.

  • Kesenjangan Literasi Digital
    Tidak semua siswa atau peserta ujian memiliki keterampilan yang cukup dalam mengoperasikan komputer. Hal ini dapat menimbulkan ketimpangan dalam hasil ujian.

  • Akses Internet yang Belum Merata
    Di beberapa daerah, akses internet masih terbatas. Ini menjadi tantangan serius dalam pelaksanaan CBT secara adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia.

  • Kesiapan Infrastruktur Penyelenggara
    Pihak penyelenggara perlu menyiapkan server kuat, sistem keamanan data, dan tim teknis yang siaga. Gangguan teknis tanpa solusi cepat bisa membuat ujian tertunda atau bahkan gagal.

Rekomendasi dan Usulan Perbaikan

Agar sistem ujian berbasis komputer semakin optimal dan inklusif, berikut beberapa langkah yang bisa diambil:

  • Simulasi CBT Nasional Secara Berkala
    Simulasi bisa membantu peserta membiasakan diri dengan sistem sebelum hari pelaksanaan ujian utama.

  • Layanan Bantuan Teknis Real-Time
    Sediakan hotline atau pusat bantuan yang mudah diakses peserta saat menghadapi kendala teknis.

  • Informasi Teknis yang Lebih Jelas dan Dini
    Publikasikan spesifikasi minimal perangkat dan koneksi internet agar peserta bisa menyiapkan diri dengan baik.

  • Opsi Ujian Alternatif
    Jika kendala teknis tak dapat dihindari, sediakan opsi ujian offline atau manual sebagai solusi cadangan.

  • Sistem Evaluasi Terbuka dan Berkelanjutan
    Kumpulkan umpan balik dari peserta dan guru sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan sistem di masa mendatang.

Digitalisasi ujian tertulis merupakan langkah progresif dalam dunia pendidikan Indonesia. Meski belum sempurna, dengan perbaikan berkelanjutan dan pendekatan inklusif, sistem CBT bisa menjadi solusi masa depan yang menjanjikan—efisien, adil, dan transparan.

Jumat, 26 September 2025

Chromebookgate: Digitalisasi Pendidikan yang Gagal

Chromebookgate: Digitalisasi Pendidikan yang Gagal
Chromebookgate: Digitalisasi Pendidikan yang Gagal

Penulis : Dr Elinda Rizkasari., S.Pd., M.Pd

(Dosen Prodi PGSD Unisri Surakarta)

DIGITALISASI pendidikan seharusnya menjadi jembatan menuju masa depan. Sayangnya, di Indonesia, ia justru berubah menjadi jurang yang menelan kepercayaan publik.

Kasus pengadaan Chromebook senilai hampir Rp 9,9 triliun yang kini diselidiki Kejaksaan Agung telah mengguncang dunia pendidikan.

Proyek yang digadang-gadang sebagai langkah modernisasi sekolah, ternyata menyisakan jejak korupsi, inefisiensi, dan kebijakan yang jauh dari kebutuhan riil di lapangan.

Bayangkan, jutaan perangkat Chromebook dibeli, tetapi banyak sekolah mengeluh tidak bisa memakainya optimal.

Alasan klasik: koneksi internet yang lemah, guru belum dilatih, hingga keterbatasan listrik di daerah. 

Alih - alih menjadi solusi, Chromebook hanya menjadi pajangan di gudang sekolah atau sekadar "hiasan" di meja siswa. 

Digitalisasi yang gagal ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merampas hak belajar anak-anak Indonesia.

Kisah Nyata di Lapangan

Di sebuah SMP negeri di Jawa Tengah, tumpukan Chromebook masih tersimpan rapi dalam kardus.

Kepala sekolah mengaku belum berani mendistribusikan karena khawatir rusak tanpa jaringan internet yang memadai.

Guru-guru pun kebingungan, sebab mereka tidak pernah mendapat pelatihan bagaimana mengintegrasikan perangkat itu ke dalam pembelajaran.

Akhirnya, proses belajar mengajar tetap kembali ke kapur, papan tulis, dan modul fotokopian.

Ironisnya, murid-murid harus menerima kabar bahwa sekolah mereka “sudah didigitalisasi”.

Cerita seperti ini berulang di berbagai daerah. Dari pelosok Kalimantan hingga Nusa Tenggara, suara serupa menggema: Chromebook ada, tetapi tidak bisa dipakai.

Proyek raksasa yang digembar-gemborkan ternyata tak lebih dari etalase modernisasi semu, jauh dari harapan besar yang semestinya diemban oleh program digitalisasi pendidikan.

Data dan Penelitian

Riset Pusat Data dan Teknologi Informasi Kemendikbud (2023) menunjukkan bahwa hampir separuh sekolah di Indonesia masih mengalami kesulitan akses internet stabil.

Laporan UNESCO (2022) juga menegaskan bahwa digitalisasi pendidikan hanya akan efektif bila disertai kesiapan infrastruktur, kompetensi guru, dan dukungan kebijakan jangka panjang.

Tanpa tiga hal ini, perangkat digital hanya akan menjadi simbol modernisasi tanpa substansi.

Dengan kata lain, Chromebookgate memperlihatkan jurang besar antara ambisi dan realitas.

Teknologi dipaksakan masuk ke sekolah tanpa memperhitungkan konteks sosial, ekonomi, dan geografis bangsa kita.

Alhasil, digitalisasi pendidikan berubah menjadi proyek mercusuar: megah di atas kertas, tetapi kosong maknanya di lapangan.

Mengapa Bisa Gagal?

Kegagalan proyek Chromebook ini bukanlah kebetulan, melainkan akibat dari orientasi kebijakan yang lebih menekankan pada angka pengadaan ketimbang kebutuhan nyata siswa dan guru.

Perangkat canggih itu jatuh ke tangan sekolah yang belum siap, sementara pelatihan guru hanya sekadar formalitas.

Infrastruktur internet yang lambat dan listrik yang terbatas membuat pemanfaatannya mustahil.

Di atas semua itu, lemahnya pengawasan membuka peluang korupsi, menjadikan anggaran pendidikan yang seharusnya menyelamatkan masa depan, justru menjadi lahan bancakan.

Solusi: Belajar dari Kegagalan

Meski demikian, kita tidak boleh menyerah pada digitalisasi. Pendidikan berbasis teknologi tetap penting untuk menyiapkan generasi muda menghadapi era kecerdasan buatan.

Namun, caranya harus benar-benar berubah. Digitalisasi bukan dimulai dari belanja perangkat, tetapi dari membangun fondasi.

Internet cepat dan listrik stabil harus menjadi syarat utama. Guru harus diberdayakan melalui pelatihan berkelanjutan, bukan sekadar workshop sehari untuk formalitas.

Dan yang paling penting, setiap rupiah anggaran pendidikan harus transparan, akuntabel, dan bisa diawasi publik. Tanpa itu, setiap proyek digital akan berulang menjadi skandal.

Negara-negara yang berhasil melakukan transformasi pendidikan digital, seperti Finlandia atau Korea Selatan, memulai dengan memperkuat pondasi dasar: infrastruktur yang merata, guru yang siap, serta regulasi yang tegas dan transparan.

Indonesia bisa belajar dari mereka, alih-alih terburu-buru membeli perangkat yang akhirnya berdebu di gudang sekolah.

Chromebookgate adalah alarm keras bagi bangsa ini. Jika pemerintah tidak segera belajar dari kegagalan ini, digitalisasi pendidikan hanya akan menjadi proyek mercusuar berikutnya—megah di atas kertas, rapuh di realitas.

Generasi muda Indonesia tidak butuh perangkat mahal yang tak terpakai. 

Mereka butuh pendidikan yang benar-benar memberdayakan, jujur, dan berpihak pada masa depan mereka.

Digitalisasi boleh gagal hari ini, akan tetapi jangan sampai harapan anak bangsa ikut dikubur bersama tumpukan Chromebook di gudang sekolah.

Mari jangan renggut masa depan anak dengan korupsi, karena hal ini akan mengambil hak mereka serta merenggut masa depan mereka.(*)