Sabtu, 11 Oktober 2025

OECD Mengapresiasi Komitmen Indonesia Terapkan Pajak Minimum Global

OECD Mengapresiasi Komitmen Indonesia Terapkan Pajak Minimum Global

Radar Info.CO.ID-JAKARTA.Perubahan global menghadirkan tantangan signifikan terhadap sistem pajak dunia.

Kepala Kantor Jakarta Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Massimo Geloso Grosso menyatakan bahwa digitalisasi, perubahan rantai pasok, perubahan iklim, serta ketegangan geopolitik telah mengubah cara dunia berdagang, berinvestasi, dan memproduksi.

Keadaan ini, menurutnya, tidak hanya mengubah pola perdagangan dan investasi, tetapi juga memaksa negara-negara untuk menyesuaikan desain serta pelaksanaan sistem perpajakan.

"Perpajakan yang selalu menjadi dasar utama penerimaan pajak, kini menghadapi tantangan terbaru," kata Massimo dalam acara The 15th TIF International Tax Seminar, Rabu (24/9/2025).

Salah satu tantangan utama adalah ekonomi digital. Ia menegaskan, teknologi memungkinkan perusahaan multinasional beroperasi di berbagai negara tanpa kehadiran langsung, sehingga aturan pajak konvensional menjadi kurang efektif.

Di sisi lain, terdapat kesepahaman internasional yang berkembang dalam menghadapi penghindaran pajak, menjamin keadilan, serta menghasilkan sumber pendapatan yang berkelanjutan untuk mendukung pertumbuhan yang lebih inklusif.

Di tengah konteks Indonesia, Massimo menganggap pemerintah telah melakukan langkah signifikan dalam menyesuaikan kebijakan pajak dengan perubahan global. Salah satu contohnya adalah dengan partisipasi aktif dalam OECD-G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).

Ia menekankan penerapan Pajak Minimum Global (GMT) dengan tarif efektif minimal 15% untuk perusahaan multinasional besar sebagai langkah penting dalam reformasi pajak global.

"Indonesia sepenuhnya berkomitmen menerapkan kerangka kerja ini untuk menjaga dasar pajaknya sekaligus memastikan kemampuan menarik investasi internasional yang besar guna mendukung pembangunan, menciptakan kesempatan kerja, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi," ujarnya.

Selain itu, Indonesia juga telah memperkuat aturan dalam negeri guna menghadapi tindakan transferpricing yang agresif. 

Upaya ini dilaksanakan melalui Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan serta peraturan pelengkap, termasuk dokumen transfer pricing, pelaporan berdasarkan negara (country-by-country reporting), serta peraturan anti penghindaran pajak yang lebih ketat.

"Indonesia juga telah menyesuaikan kebijakan pajak badan, pajak pertambahan nilai, dan cukai guna membentuk sistem perpajakan yang lebih kuat dan adil yang mencegah pengurangan dasar pajak sekaligus mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan," tegasnya.

Seperti yang diketahui, Indonesia secara resmi menerapkan pajak minimum global. Penerapan ini terjadi setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 mengenai penerapan pajak minimum global yang mulai berlaku pada tahun pajak 2025.

Pelaksanaan aturan pajak minimum global merupakan bagian dari Perjanjian Pilar Dua yang diusulkan oleh G20 dan diatur oleh OECD, serta didukung oleh lebih dari 140 negara.

Aturan ini berlaku untuk wajib pajak badan yang merupakan bagian dari konglomerat perusahaan multinasional dengan pendapatan konsolidasi global minimal 750 juta Euro.

Wajib pajak yang dimaksud akan dikenakan pajak minimum global dengan tingkat 15% mulai dari tahun pajak 2025. Jika tarif pajak efektifnya di bawah 15%, Wajib Pajak wajib melakukan pembayaran pajak tambahan (top up) paling lambat pada akhir tahun pajak berikutnya.

Misalnya, untuk tahun pajak 2025, perkiraan besarnya pajak yang harus dibayar paling cepat pada tanggal 31 Desember 2026.

Jumat, 10 Oktober 2025

Pengusaha Buka Rahasia Manfaat dan Dampak ICA-CEPA bagi Industri Tekstil Indonesia

Pengusaha Buka Rahasia Manfaat dan Dampak ICA-CEPA bagi Industri Tekstil Indonesia

Radar Info, JAKARTA — Asosiasi Pertekstilan Indonesia(API) yakin kinerja ekspor produk tekstil, terutama pakaian jadi hingga kain rajut akan meningkat setelah akses pasar bebas tarif keKanadaterbuka. Di sisi lain, terdapat beberapa tantangan yang perlu dipersiapkan.

Hal ini terjadi seiring dengan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Kanada setelah menandatangani Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Canada (ICA-CEPA).

Wakil Ketua API David Leonardi menyatakan bahwa ekspor barang pakaian ke Kanada memiliki potensi tumbuh pesat. Menurutnya, Kanada dapat menjadi pintu masuk untuk memperluas jangkauan pasar di kawasan Amerika Utara.

"Penghapusan pajak impor membuat produk tekstil Indonesia, khususnya pakaian jadi, kain rajut, dan barang berbasis tenaga kerja lainnya, lebih bersaing dalam hal harga di pasar Kanada," ujar David kepada Bisnis, Kamis (25/9/2025).

Artinya, selain kesempatan pesanan baru dari luar negeri, produsen juga memiliki peluang untuk memperluas jaringan pemasaran, serta mendorong perusahaan lokal menyesuaikan standar produk sesuai dengan permintaan internasional.

David mengatakan, meskipun Kanada bukan pasar terbesar di dunia, peluang pertumbuhan ekspor dalam beberapa tahun pertama setelah penerapannya sangat menjanjikan.

"Secara tidak langsung memperkuat akses ke pasar Amerika Utara lainnya melalui jaringan pasok lintas batas," katanya.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor produk tekstil siap pakai dengan kode HS61-63 mencapai nilai sebesar US$158,6 juta pada bulan Januari hingga Juli 2025. Angka ini meningkat sebesar 7% (year-on-year/yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu sebesar US$148,26 juta.

Angka ekspor tersebut juga lebih besar dibandingkan Januari-Juli 2023 yang sebesar US$151,32 juta. Namun, lebih kecil dibandingkan periode yang sama pada ekspor tahun 2022 lalu yang mencapai US$170,35 juta.

Namun, API yakin bahwa kesepakatan ini akan membuka akses pasar yang lebih luas dan terjangkau, meningkatkan peluang investasi serta integrasi rantai pasok dengan mitra Kanada, serta mendorong peningkatan kualitas, desain, dan kepatuhan terhadap standar, yang pada akhirnya memperkuat daya saing.

"Meskipun demikian, risiko tetap ada. Masuknya produk Kanada ke Indonesia dengan tarif bea masuk yang rendah bisa mengancam pasar lokal, khususnya bagi industri kecil dan menengah yang belum siap bersaing baik dari segi harga maupun mutu," katanya.

Ia menilai, jika impor bahan baku atau kain murah meningkat tanpa diiringi penguatan sektor hulu, industri lokal berisiko terjebak hanya dalam proses perakitan dengan nilai tambah yang rendah.

Selain itu, ketergantungan terhadap pasar ekspor menyebabkan industri rentan terhadap perubahan permintaan dari luar negeri. Dalam hal ini, pemerintah harus waspada terhadap beberapa aspek agar pengaruh liberalisasi perdagangan tidak justru merugikan industri lokal.

"Penerapan aturan asal barang yang ketat menjadi kunci untuk mencegah praktik transshipment dari negara ketiga melalui Kanada," ujarnya.

Pada saat yang bersamaan, David mengajukan permintaan kepada pemerintah agar memberikan dukungan untuk meningkatkan daya saing industri kecil dan menengah dengan memperluas akses pembiayaan, sertifikasi, serta kemampuan produksi, serta menyediakan alat perlindungan seperti safeguard dan anti-dumping jika terjadi peningkatan impor.

Selanjutnya, pengawasan terhadap impor, integrasi rantai pasok hulu, serta penerapan standar teknis dan lingkungan yang seragam juga perlu menjadi fokus utama.

Dengan tindakan pencegahan yang tepat, ia yakin perjanjian ini lebih mungkin menjadi kesempatan untuk meningkatkan ekspor dan memajukan industri tekstil nasional, bukan ancaman yang membuatnya kalah dalam persaingan.