
Radar Info, JAKARTA — Asosiasi Pertekstilan Indonesia(API) yakin kinerja ekspor produk tekstil, terutama pakaian jadi hingga kain rajut akan meningkat setelah akses pasar bebas tarif keKanadaterbuka. Di sisi lain, terdapat beberapa tantangan yang perlu dipersiapkan.
Hal ini terjadi seiring dengan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Kanada setelah menandatangani Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Canada (ICA-CEPA).
Wakil Ketua API David Leonardi menyatakan bahwa ekspor barang pakaian ke Kanada memiliki potensi tumbuh pesat. Menurutnya, Kanada dapat menjadi pintu masuk untuk memperluas jangkauan pasar di kawasan Amerika Utara.
"Penghapusan pajak impor membuat produk tekstil Indonesia, khususnya pakaian jadi, kain rajut, dan barang berbasis tenaga kerja lainnya, lebih bersaing dalam hal harga di pasar Kanada," ujar David kepada Bisnis, Kamis (25/9/2025).
Artinya, selain kesempatan pesanan baru dari luar negeri, produsen juga memiliki peluang untuk memperluas jaringan pemasaran, serta mendorong perusahaan lokal menyesuaikan standar produk sesuai dengan permintaan internasional.
David mengatakan, meskipun Kanada bukan pasar terbesar di dunia, peluang pertumbuhan ekspor dalam beberapa tahun pertama setelah penerapannya sangat menjanjikan.
"Secara tidak langsung memperkuat akses ke pasar Amerika Utara lainnya melalui jaringan pasok lintas batas," katanya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor produk tekstil siap pakai dengan kode HS61-63 mencapai nilai sebesar US$158,6 juta pada bulan Januari hingga Juli 2025. Angka ini meningkat sebesar 7% (year-on-year/yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu sebesar US$148,26 juta.
Angka ekspor tersebut juga lebih besar dibandingkan Januari-Juli 2023 yang sebesar US$151,32 juta. Namun, lebih kecil dibandingkan periode yang sama pada ekspor tahun 2022 lalu yang mencapai US$170,35 juta.
Namun, API yakin bahwa kesepakatan ini akan membuka akses pasar yang lebih luas dan terjangkau, meningkatkan peluang investasi serta integrasi rantai pasok dengan mitra Kanada, serta mendorong peningkatan kualitas, desain, dan kepatuhan terhadap standar, yang pada akhirnya memperkuat daya saing.
"Meskipun demikian, risiko tetap ada. Masuknya produk Kanada ke Indonesia dengan tarif bea masuk yang rendah bisa mengancam pasar lokal, khususnya bagi industri kecil dan menengah yang belum siap bersaing baik dari segi harga maupun mutu," katanya.
Ia menilai, jika impor bahan baku atau kain murah meningkat tanpa diiringi penguatan sektor hulu, industri lokal berisiko terjebak hanya dalam proses perakitan dengan nilai tambah yang rendah.
Selain itu, ketergantungan terhadap pasar ekspor menyebabkan industri rentan terhadap perubahan permintaan dari luar negeri. Dalam hal ini, pemerintah harus waspada terhadap beberapa aspek agar pengaruh liberalisasi perdagangan tidak justru merugikan industri lokal.
"Penerapan aturan asal barang yang ketat menjadi kunci untuk mencegah praktik transshipment dari negara ketiga melalui Kanada," ujarnya.
Pada saat yang bersamaan, David mengajukan permintaan kepada pemerintah agar memberikan dukungan untuk meningkatkan daya saing industri kecil dan menengah dengan memperluas akses pembiayaan, sertifikasi, serta kemampuan produksi, serta menyediakan alat perlindungan seperti safeguard dan anti-dumping jika terjadi peningkatan impor.
Selanjutnya, pengawasan terhadap impor, integrasi rantai pasok hulu, serta penerapan standar teknis dan lingkungan yang seragam juga perlu menjadi fokus utama.
Dengan tindakan pencegahan yang tepat, ia yakin perjanjian ini lebih mungkin menjadi kesempatan untuk meningkatkan ekspor dan memajukan industri tekstil nasional, bukan ancaman yang membuatnya kalah dalam persaingan.