Sabtu, 11 Oktober 2025

Menteri Keuangan Purbaya di Tengah Perdebatan Kenaikan Tarif Cukai Rokok

Radar Info, JAKARTA -- Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan indikasi akan merevisi tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok. Ia menilai bahwa tarif cukai yang berlaku saat ini sudah sangat tinggi, meskipun Purbaya tidak membantah adanya pertimbangan kesehatan di balik kebijakan tersebut.

Hanya catatan bahwa tarif cukai rokok hanyalah salah satu alat yang digunakan untuk mengendalikan penggunaan rokok. Hal ini berkaitan dengan peran cukai sebagaicommunity protection. Pajak sendiri merupakan alat fiskal.

Di sisi lain, dalam konteks rantai pasok produk tembakau, terdapat aspek kesehatan, industri, serta sektor pertanian yang sering kali tidak muncul dalam perdebatan publik. Pada tahun 2024, rata-rata kenaikan pajak rokok berkisar antara 10%.

Selain itu, Menteri Keuangan Purbaya pernah menyampaikan adanya ketidaksesuaian dalam kebijakan cukai rokok yang berlaku beberapa tahun terakhir. Ia mengungkapkan bahwa pernah menanyakan perkembangan tarif cukai kepada bawahannya. Namun, saat mengetahui besarnya kenaikan secara akumulatif, ia merasa terkejut.

Purbaya menyebutkan, rata-rata tarif yang diterapkan pada produk tembakau mencapai sekitar 57%.

Terdapat cara mengambil kebijakan yang sedikit tidak biasa bagi saya. Saya bertanya, bagaimana dengan cukai rokok, sekarang rata-ratanya berapa? 57%. Wah, sangat tinggi sekali. Fir'aun kau," canda dia saat konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (19/9/2025).

Meskipun dia mengatakan, jika tarif cukai dikurangi, pendapatan negara justru akan meningkat lebih besar.

Namun, ia memahami tujuan dari kenaikan pajak rokok adalah untuk mengurangi penggunaan rokok di seluruh negeri serta mempersempit skala industri ini.

"Ternyata, kebijakan tersebut tidak hanya berdampak pada pendapatan saja. Ada kebijakan yang memang bertujuan untuk mengurangi konsumsi rokok. Akibatnya, industri terkait menjadi lebih kecil dan jumlah tenaga kerja di sana juga berkurang. Bagus, karena ada WHO yang mendukungnya," kata Purbaya.

Desain Kebijakan Belum Optimal

Meskipun demikian, Purbaya menganggap desain kebijakan CHT selama ini belum dilakukan dengan maksimal. Ia menyampaikan, peraturan tersebut tidak mempertimbangkan jumlah tenaga kerja yang berpotensi terkena dampak di sektor tersebut.

Akibatnya, sejumlah perusahaan rokok nasional harus melakukan penghematan. Ribuan karyawan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penyerapan tembakau dari petani juga mengalami penurunan.

"Saya bertanya, apakah kita sudah membuat program untuk mengurangi pengangguran? Apa saja program yang ada dari pemerintah?" dijawab tidak ada. "Loh, kok bisa begitu?" katanya.

Purbaya melanjutkan, penanganan risiko terhadap karyawan yang mungkin terkena dampak harus dilakukan sebelum kebijakan untuk mengurangi industri rokok ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan yang nantinya dihasilkan akan lebih efektif.

"Selama kita tidak memiliki program yang mampu menyerap tenaga kerja yang menganggur, industri tersebut tidak boleh dihancurkan, karena hal ini hanya akan menyebabkan orang-orang kesulitan," katanya.

Tuntutan Pelaku Industri 

Di sisi lain, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi berharap Menteri Keuangan Purbaya tidak akan menaikkan tarif CHT pada tahun mendatang.

"Pernyataan Kemenkeu mengenai tidak adanya pajak baru atau kenaikan pajak pada tahun 2026 dapat dianggap sebagai kabar baik, yang berarti pajak tetap stabil, termasuk cukai rokok, harapanannya juga tidak akan meningkat," ujar Benny.

Benny berpendapat bahwa peningkatan pendapatan negara sebaiknya diarahkan pada peningkatan ketaatan pajak serta pemberantasan peredaran rokok ilegal, bukan dengan menaikkan tarif cukai.

Pendekatan ini dianggap lebih efisien dalam menjaga kestabilan sektor industri sambil mendukung pemulihan ekonomi nasional, dibandingkan dengan menaikkan tarif pajak.

Di sisi lain, para pengusaha juga menekankan perlunya kebijakan berkelanjutan berupa larangan sementara kenaikan CHT selama 3 tahun mendatang guna menjaga kemampuan beli masyarakat, melindungi tenaga kerja, serta memulihkan sektor industri yang sedang mengalami tekanan.

Tidak tanpa alasan, Benny menekankan bahwa kejelasan kebijakan sangat diperlukan oleh IHT yang dalam lima tahun terakhir mengalami tekanan berat akibat kenaikan tarif cukai lebih dari 65%.

"Moratorium kenaikan pajak rokok selama tiga tahun ke depan akan sangat berpengaruh terhadap pemulihan sektor hasil tembakau," katanya.

Menurut Benny, jika sektor industri diberi kesempatan untuk pulih, dampaknya akan terasa secara menyeluruh. Ia yakin bahwa usulan moratorium bisa berdampak pada peningkatan pendapatan negara, penyerapan tenaga kerja, serta meningkatkan kesejahteraan para petani.

Tuntutan Kesehatan

Lembaga Pusat Inisiatif Pembangunan Strategis Indonesia (Cisdi) mengimbau pemerintah untuk menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) guna meningkatkan pendapatan negara, bukan mengangkat pajak kebutuhan pokok masyarakat, seperti PPN dan PBB.

CEO dan Pendiri Cisdi Diah Saminarsih menyatakan usulan tersebut sejalan dengan UU No. 39/2007 mengenai cukai, pemerintah seharusnya memberlakukan cukai terhadap rokok karena sifatnya yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat sehingga penggunaannya perlu diatur.

"Pada tahun 2019, ketika tarif cukai tidak mengalami kenaikan, CISDI menghitung kerugian ekonomi akibat kebiasaan merokok mencapai Rp 410 triliun, atau sebesar 2,59 persen dari PDB Indonesia, karena meningkatnya pengeluaran kesehatan dan penurunan produktivitas masyarakat. Bahkan pendapatan cukai rokok pada masa itu tidak cukup untuk menutupi biaya kesehatan tersebut," kata Diah dalam pernyataan resminya, Jumat (25/9/2025).

Menurut Diah, kenaikan harga melalui pajak seharusnya dilakukan agar rokok sebagai barang berisiko tidak lagi mudah diperoleh. Ia yakin pajak rokok yang tinggi akan mengurangi penggunaan produk yang setiap tahun menyebabkan kematian 300.000 orang di Indonesia.

Penelitian CISDI (2024) mengungkapkan bahwa kenaikan pajak sebesar 45% berpotensi mengurangi penggunaan rokok kretek (campuran tembakau dan cengkeh) hingga 27,7% serta rokok putih (tembakau murni) sebesar 19,5%.

Bahkan, dalam penelitian tersebut disebutkan potensi peningkatan pendapatan negara hingga Rp7,92 triliun serta menciptakan lebih dari 148.000 kesempatan kerja. "Tidak adanya kenaikan tarif cukai tidak hanya mengurangi peluang pendapatan negara, tetapi juga berdampak besar terhadap produktivitas dan kesehatan masyarakat," katanya.

0 Please Share a Your Opinion.: