
Jangan menentang orang tua, jika tidak ingin dianggap sebagai anak yang tidak berbakti
Kalimat tersebut terus disampaikan kepada anak. Diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Baik oleh orang tua, guru maupun tokoh agama. Sebagai peringatan agar anak tidak menentang dan selalu taat kepada orang tua. Apa pun perkataan orang tua, dianggap sebagai perintah yang harus dipatuhi.
Lalu bagaimana jika anak memiliki keyakinan kuat terhadap pilihan mereka sendiri dan tetap menentang? Kata-kata mereka "Anak yang tidak taat tidak akan masuk surga" atau sebaliknya "Anak yang tidak taat akan masuk neraka".
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata durhaka diartikan sebagai perbuatan tidak mematuhi perintah (Tuhan, orang tua, dan sebagainya).
Sebagai seorang anak, tentu kewajiban utama adalah berbakti kepada orang tua. Agama juga mengajarkan bahwa anak harus bersikap baik kepada orang tua, berbakti, berbicara dengan baik, dan mendoakan mereka. Namun, apakah setiap perbedaan pendapat antara anak dan orang tua yang membuat anak terlihat menentang atau tidak mematuhi perintah orang tua, secara otomatis bisa dikategorikan sebagai durhaka?
Pandangan Anak
Mari melihat dari sudut pandang anak, yang belum pernah mengalami masa remaja, dewasa, dan belum pernah menjadi seorang orang tua.
Anak-anak selalu mengalami kesalahan selama proses belajar. Mereka terus mencoba hal-hal baru, karena rasa ingin tahu terhadap sesuatu yang menarik di sekitarnya. Mereka belum sepenuhnya memahami risiko yang ada. Belum menyadari bahaya yang mengancam. Dan seringkali belum mengerti dampak dari tingkah lakunya terhadap lingkungan sekitarnya.
Tidak heran jika anak-anak sering kali dianggap memiliki banyak kesalahan di mata orang tua. Karena orang tua sudah memahami apa yang lebih baik dan benar, meskipun terkadang hanya berdasarkan sudut pandang mereka sendiri. Rasa takut orang tua tidak selalu benar. Dan terlalu melindungi juga dapat menghambat pertumbuhan anak.
Anak yang penuh semangat, kreatif, senang mencoba hal-hal baru dan memiliki banyak inisiatif, lebih mudah mendapat label nakal dan bandel dari orang tua karena cenderung lebih sering membuat kesalahan. Berbeda dengan anak yang pasif dan tenang. Meskipun bisa jadi, dia tenang karena tidak pernah diberi kebebasan untuk bereksplorasi secara aman. Mungkin dia sering diam (di depan orang tua), karena sistem kecemasannya mengatakan bahwa jika dia banyak bergerak, orang tua akan marah dan dia akan dihukum.
Anak yang diberi label sebagai nakal ini kemudian dalam jangka waktu lama percaya bahwa dirinya selalu salah, tidak patuh, merepotkan, dan bukan anak yang baik. Ia selalu merasa sebagai anak penuh kesalahan dan hidup penuh rasa bersalah. Padahal di hatinya, ia juga menyimpan perasaan kecewa sebagai anak yang tidak dipahami. Ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mengevaluasi kembali perasaannya, bahwa ia hanya melakukan kesalahan dan itu wajar. Ia masih sedang belajar, belum mengerti cara terbaik menurut pandangan orang tuanya lebih baik.
John Bowlby, seorang psikolog asal Inggris, menciptakan Teori Keterikatan yang menjelaskan hubungan emosional dan ikatan antar manusia secara psikologis. Teori ini menyebutkan bahwa ikatan pertama yang terbentuk antara anak dan pengasuh utamanya, biasanya orang tua, memiliki dampak besar yang berlangsung sepanjang hidup. (sumber: verywellmind.com)
Ikatan emosional yang stabil (secure attachment) tercipta ketika anak merasa dilindungi, diterima, merasa aman, dan menerima cinta tanpa syarat, seperti harus cerdas, harus taat, atau selalu hebat dan lain sebagainya.
Sebaliknya, keterikatan yang tidak aman (insecure attachment) terjadi ketika orang tua bersikap tidak konsisten, sering mengkritik, membatasi, penuh kendali, atau mengabaikan kebutuhan emosional anak. Kecemasan ini justru memicu sifat menentang, pemberontakan, dan tampak seperti anak yang tidak patuh. Padahal, perilaku tersebut sebenarnya merupakan bentuk ekspresi dari kebutuhan emosional dan validasi yang belum terpenuhi oleh orang tua.
Bagaimana jika orang tua melakukan kesalahan?
Jika kita melihat dari sudut pandang yang berbeda: Bagaimana jika orang tua salah, karena tidak melakukan pencegahan dengan memberikan pemahaman dan pendidikan yang tepat?
Bagaimana jika orang tua mengajarkan hal yang baik tetapi secara tidak sadar melakukan dan menjadi contoh yang buruk di depan anak?
Ternyata orang tua juga belum pernah mengalami menjadi orang tua sebelumnya. Artinya, orang tua bisa saja melakukan kesalahan dalam menjalankan peran mereka sebagai orang tua. Padahal, setiap orang tua pasti pernah menjadi anak. Oleh karena itu, seharusnya mereka mampu memposisikan diri dalam sudut pandang sebagai seorang anak.
Jangan sampai, anak selalu diintimidasi dengan keyakinan bahwa mereka bisa menjadi anak yang tidak taat jika tidak patuh. Mereka dilarang menyakiti hati orang tua, membuatnya sedih atau menangis. Dengan alasan "Ridho orangtua adalah ridho Tuhan". Seperti kutukan, orang tua mengatakan kepada anak, "Jika Tuhan tidak ridho, maka kehidupan anak akan penuh tantangan di masa depan."
Meskipun banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa selama bertahun-tahun mereka membuat anaknya sedih, kecewa, dan menangis hampir setiap hari. Anak merasa terbatasi, tidak pernah diberi kesempatan untuk memutuskan jalan hidupnya sendiri dan selalu dianggap bersalah. Hak-haknya sebagai anak tidak dipenuhi. Bahkan mereka harus menanggung beban finansial ketika sudah dewasa, karena orang tua tidak mampu dalam mencari dan mengelola uang.
Mungkin saja kehidupan seorang anak telah bertahun-tahun menghadapi kesulitan, menantikan suatu hari bisa dicintai dan dipahami. Anak semacam itu hampir tidak pernah merasa takut lagi ketika menghadapi kesulitan di masa depan, karena setiap hari hidupnya sudah terasa seperti mimpi buruk yang melelahkan.
Yang menjadi pertanyaan adalah, "Apakah ada orang tua yang bersedia anaknya masuk neraka?" Mengapa mereka mengatakan hal itu, meskipun hanya sebagai ancaman.
Jika tidak rela, mengapa orang tua sering kali memberikan pilihan-pilihan berat kepada anak mereka yang kemungkinan besar tidak akan dipilih oleh anak?
Mengapa orang tua tidak memberi kesempatan untuk berdiskusi mengenai pandangan mereka terhadap suatu masalah, serta membiarkan anak menjelaskan perspektifnya dalam menentukan pilihannya. Selanjutnya, berkomunikasi secara seimbang, membantu anak dalam memilih jalannya hidup dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari orang tua.
Mungkin saja anak memang telah siap menghadapi risiko dan kemungkinan hal negatif yang mungkin akan ia hadapi di masa depan.
Mengapa orang tua memutuskan meletakkan anaknya di tepi jurang: Untuk menjadi patuh atau menjadi anak yang tidak taat?
Apa itu hanya sebuah cara untuk mengontrol, karena orang tua takut kehilangan kendali terhadap anak?
Renungan
Mengasuh dan mendidik anak akan menjadi indah apabila dilakukan melalui komunikasi yang penuh kasih, dibanding dengan mengancam menggunakan label durhaka dan ancaman neraka?
Semoga hal ini menjadi bahan renungan bagi kita semua. Bahwa dalam mendidik anak, tujuan akhirnya bukan hanya menghasilkan anak yang taat, patuh, dan selalu bisa diatur, agar menjadi anak yang sempurna menurut pandangan orang tua.
Namun bagaimana agar anak dapat berkembang menjadi manusia yang utuh, bahagia, mengejar impian sendiri, serta merasa bahagia atas pencapaian dan prestasinya masing-masing. Juga anak yang taat kepada orang tuanya dengan tulus, bukan karena takut pada neraka, melainkan karena kasih sayang.
Apakah orang tua lupa, bahwa setelah mereka pergi, hanya doa-doa dari anak-anaknya yang akan menjadi jalan penyelamat bagi mereka?
Sudah tiba waktunya generasi ini mengakhiri siklus penderitaan.
0 Please Share a Your Opinion.: