
D'moneyTalk - Saat ini terdapat fenomena menarik yang sedang berkembang yakni jutaan orang di seluruh dunia beralih ke chatbot AI untuk mencari bimbingan spiritual. Aplikasi seperti Bible Chat telah diunduh lebih dari 30 juta kali, menunjukkan bagaimana teknologi telah menyusup ke dalam aspek kehidupan yang paling pribadi dan intim.
Bahkan, aplikasi Katolik bernama Hallow pernah mengungguli platform besar seperti Netflix dan Instagram di App Store, menandakan betapa besar minat publik terhadap "teknologi iman" ini.
Berdasarkan laporan dari The New York Times seperti dilansir dari Arstechnica, Rabu (24/9), tren ini tidak terbatas pada negara tertentu. Di Tiongkok, misalnya, orang-orang menggunakan platform seperti DeepSeek untuk meramal nasib mereka.
Aplikasi-aplikasi ini sering kali mematok biaya langganan yang cukup tinggi, bahkan hingga USD 70 per tahun, dengan janji dapat menyalurkan komunikasi ilahi secara langsung. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang etika dan keaslian bimbingan yang mereka tawarkan.
Salah satu alasan orang beralih ke chatbot adalah faktor kenyamanan. Seperti yang dikatakan oleh seorang pengguna bernama Krista Rogers, ia menggunakan chatbot untuk pertanyaan-pertanyaan rohani karena dirinya tidak ingin mengganggu pendeta pada pukul tiga pagi. Kemudahan akses ini memungkinkan pengguna mendapatkan jawaban instan tanpa rasa takut dihakimi atau merepotkan orang lain.
Namun, yang menjadi masalah adalah apakah chatbot ini benar-benar bisa memberikan bimbingan spiritual yang otentik. Para ahli menegaskan bahwa chatbot tidak memiliki kesadaran spiritual. Mereka hanyalah model bahasa besar yang menghasilkan teks berdasarkan pola dan data pelatihan.
Jadi, meskipun responsnya terdengar bijak dan penuh wawasan, itu hanyalah hasil dari algoritma yang canggih. Kecenderungan chatbot untuk mengafirmasi atau mengiyakan semua gagasan pengguna juga menjadi perhatian serius.
Sifat yang disebut "sycophancy" dalam industri AI ini membuat chatbot menjadi orang-orang yang selalu membenarkan. Meskipun hal ini mungkin terasa menyenangkan, para teolog khawatir chatbot menghindari tantangan spiritual yang tidak nyaman, yang sering kali diperlukan untuk pertumbuhan iman.
Sementara itu, profesor Heidi Campbell dari Texas A&M menjelaskan bahwa chatbot memberi tahu kita apa yang ingin kita dengar. Mereka tidak menggunakan ketajaman spiritual, melainkan hanya data dan pola.
Dengan demikian, mereka bisa berpotensi menyesatkan pengguna dengan informasi yang keliru, tanpa kemampuan untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan secara rohani.
Selain itu, masalah privasi juga sangat krusial. Seorang pastor Katolik, Romo Mike Schmitz, mempertanyakan risiko dalam mencurahkan isi hati kepada chatbot. Momen-momen spiritual yang intim yang dibagikan pengguna kini menjadi data yang tersimpan di server perusahaan, memicu kekhawatiran tentang keamanan dan kerahasiaan.
Beberapa pengguna, seperti Delphine Collins, seorang guru prasekolah, mengaku lebih menyukai respons chatbot yang tidak menghakimi dibandingkan komunitas agama manusia. Setelah menceritakan perjuangan kesehatannya di gereja, ia merasa mengerikan karena orang-orang berhenti berbicara dengan dirinya.
Para pembuat aplikasi berpendapat bahwa produk mereka berfungsi sebagai pelengkap, bukan pengganti, hubungan spiritual manusia. Mereka melihatnya sebagai respons terhadap fakta bahwa sekitar 40 juta orang di AS telah meninggalkan gereja dalam beberapa dekade terakhir. Namun, mereka mengakui bahwa cara orang menemukan asupan rohani kini telah berubah.
Pada akhirnya, meskipun chatbot religius mungkin menjanjikan, realitas teknisnya sangat berbeda. Ketika chatbot berkata, "Saya akan berdoa untuk Anda," simulasi "Saya" itu lenyap setelah respons selesai. Tidak ada identitas permanen untuk memberikan bimbingan berkelanjutan.
0 Please Share a Your Opinion.: