
D'moneyTalk - Pada usia 81 tahun, Larry Ellison, salah satu pendiri Oracle, kembali membuktikan dirinya sebagai sosok penting dalam industri teknologi global. Setelah sempat dianggap bagian dari masa lalu Silicon Valley, kini sang miliarder teknologi ini bangkit melalui transformasi Oracle ke ranah kecerdasan buatan (AI).
Langkah itu tidak hanya menghidupkan kembali kejayaan perusahaan yang didirikannya hampir lima dekade lalu, tetapi juga sempat menempatkannya di posisi orang terkaya di dunia dengan kekayaan 400 miliar dolar AS atau sekitar Rp 6.660 triliun (kurs Rp 16.650 per dolar AS).
Kebangkitan Ellison tergambar jelas dalam sebuah pertemuan yang penuh simbolisme. Dia menghadiri makan malam di restoran Jepang Nobu, Palo Alto, bersama Elon Musk dan CEO Nvidia, Jensen Huang.
Dalam suasana santai namun penuh kepentingan, ketiganya membahas pasokan chip GPU Nvidia yang menjadi komoditas paling dicari dalam revolusi AI.
"Saya dan Elon benar-benar seperti memohon pada Jensen agar mau menjual GPU kepada kami. 'Tolong ambil uang kami, bahkan ambil lebih banyak lagi'," ujar Ellison di hadapan para analis keuangan, seperti dilansir The Irish Times, Rabu (24/9/2025).
Menurut laporan yang sama, kisah tersebut menjadi titik balik bagaimana Ellison kembali memosisikan diri di garis depan revolusi teknologi. Jika dahulu bos Oracle itu dikenal sebagai sekutu dekat Steve Jobs, kini dia membangun aliansi baru, bahkan turut hadir di Gedung Putih bersama CEO OpenAI, Sam Altman, dalam pengumuman proyek infrastruktur AI berskala besar bernama Stargate.
Proyek itu memperkuat posisi Oracle setelah OpenAI dilaporkan melakukan pemesanan layanan senilai 300 miliar dolar AS atau sekitar Rp4.995 triliun. Pesanan masif itu membuat Oracle menjadi pusat pertumbuhan baru di Wall Street, dengan lonjakan saham yang mendongkrak kekayaan Ellison lebih dari 100 miliar dolar AS hanya dalam sepekan.
Marc Benioff, CEO Salesforce sekaligus mantan anak didik Ellison, menilai keberlanjutan kiprah gurunya begitu istimewa.
"Dia berdiri sendiri. Tidak ada yang mampu bertahan di Silicon Valley selama 50 tahun sepertinya. Orang lain mungkin tumbang, tetapi dia tetap bertahan," ujar Benioff menegaskan.
Meski sempat dinilai terlambat masuk ke bisnis komputasi awan (cloud computing) yang dikuasai Amazon, Microsoft, dan Google, Ellison justru memperlihatkan strategi berbeda.
Seorang mantan kolega menjelaskan, dia kerap menunggu hingga pasar matang sebelum melakukan langkah besar. "Bagi Ellison, yang penting bukan menjadi yang pertama, melainkan menjadi yang terakhir bertahan," katanya.
Kini, gaya kepemimpinan Ellison juga menunjukkan pergeseran signifikan. Dari figur flamboyan yang kerap memicu kontroversi pada dekade 1990-an, tokoh veteran Silicon Valley itu bertransformasi menjadi sosok yang lebih fokus pada strategi tingkat tinggi. Posisi CEO sendiri telah lama dijalankan Safra Catz, tangan kanan Ellison yang mendampinginya sejak akhir 1990-an.
Namun, pengaruh Ellison tidak berhenti di bidang teknologi. Dia turut mendukung riset medis, khususnya terkait penyakit penuaan melalui Ellison Institute of Technology di Oxford, serta memperkuat kiprahnya di dunia hiburan bersama putranya, David Ellison, yang kini mengendalikan studio Paramount.
Dengan energi yang tak pernah surut, Ellison menegaskan dirinya bukan sekadar legenda masa lalu, melainkan sosok yang kembali relevan di tengah revolusi AI. Atau seperti yang digambarkannya sendiri, "Ini bukan soal menjadi yang pertama, melainkan menjadi orang terakhir yang tetap berdiri."
0 Please Share a Your Opinion.: